Ruang Bahasa

Mengubah Idul Fitri Menjadi Idulfitri, Bathin Menjadi Batin

Soalnya, berkaca pada pengalaman yang sudah-sudah, kesalahan kita berbahasa justru paling banyak terjadi di saat-saat menjelang

|
Editor: Nur Nihayati
Dok pribadi
Yarmen Dinamika, Wartawan Harian Serambi Indonesia 

*)  Oleh: Yarmen Dinamika, Wartawan Harian Serambi Indonesia

LEBARAN  sebentar lagi. Inilah momen ketika tertib dan laras bahasa kita sebagai pengguna bahasa Indonesia diuji. Soalnya, berkaca pada pengalaman yang sudah-sudah, kesalahan kita berbahasa justru paling banyak terjadi di saat-saat menjelang atau pada saat Lebaran.

Le.ba.ran sendiri (bukan Le.bar.an), menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah hari raya umat Islam yang jatuh pada tanggal 1 Syawal setelah selesai menjalankan ibadah puasa selama bulan Ramadan.

Lebaran juga dinamakan dengan Idulfitri. Nah, sudah puluhan tahun kita terbiasa menulis Idulfitri dengan Idul Fitri. Bahkan, sebagian di antara kita menulisnya dengan Idul Fithri. Salat Idulfitri pun kita singkat menjadi salat Ied. Entah dari mana datangnya huruf e di antara huruf i dan d itu.

Namun, tahukah Anda apa versi baku Idul Fitri di KBBI? Yang baku itu adalah Idulfitri, sedangkan Idul Fitri dinyatakan sebagai bentuk tidak baku.

Selama ini, di berbagai spanduk dan baliho, juga di kartu Lebaran dan flyer, sering kita baca Idul Fitri, bukan Idulfitri. Karena merasa sudah biasa, maka versi Idul Fitrilah yang terus-menerus kita gunakan karena kita anggap paling benar.

Bukan saja di Aceh, di luar Aceh pun kebiasaan menulis Idulfitri dengan Idul Fitri itu berlangsung secara masif. Di Jakarta dan Bekasi dalam empat hari terakhir, ratusan spanduk dan baliho selamat Lebaran sudah saya pelototi. Hasilnya, hanya tiga baliho yang menulis Idul Fitri dengan cara benar, yakni Idulfitri. Baliho itu milik Kang Heru, politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Bekasi.

Di baliho itu dia cantumkan juga foto dan nama Dr. H. Salim Segaf Al-Jufri, Ketua Majelis Syuro PKS.
Baliho-baliho itu hanya terlihat di Jalan Cut Meutia Kota Bekasi. Selebihnya, saya tak lihat.

Bahasa Indonesia sudah 78 tahun ditetapkan sebagai bahasa negara. Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) pun sudah sejak 1972 disahkan Presiden Soeharto. Bahkan, pada 26 November 2015, EYD sudah diganti menjadi Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI).
KBBI daring pun terus diperbarui dua-tiga tahun sekali dan kini sudah sampai volume VI.

Akan tetapi, dari tahun ke tahun mayoritas kita masih tetap menggunakan Idul Fitri. Minim sekali di antara kita yang berani 'move on' dari Idul Fitri ke Idulfitri. Demikian pula saat menulis Iduladha. Tetap versi salahnya (Idul Adha) yang selalu kita gunakan.

Ucapan selamat Idulfitri ataupun Iduladha yang biasanya dibarengi dengan permohonan maaf lahir dan batin, sering kali pula kata batinnya kita tulis dengan bathin. Padahal, kata itu bentuk yang tidak baku.

Sebelum masuk Idulfitri pun banyak di antara kita yang berburu malam kemuliaan, yakni Lailatulqadar. Namun, kita menulisnya dengan cara salah: Lailatul Qadar ataupun Lailatul Kadar.

Lai.la.tul.qa.dar adalah malam turunnya wahyu Allah (yakni pada malam gasal bulan Ramadan sesudah tanggal 20), yang apabila seseorang beramal kebaikan pada malam itu, pahalanya akan dilipatgandakan setara dengan beramal seribu bulan.

Jauh sebelum fase Laitulqadar, kita juga sering salah menulis Nuzulul Quran. Versi baku kata ini adalah Nuzululqur'an, yakni saat turunnya (wahyu) Al-Qur'an pertama kali kepada Nabi Muhammad saw. ketika beliau menyepi di Gua Hira pada tanggal 17 Ramadan dalam usia beliau yang ke-40 tahun.

Bulan-bulan Arab pun sering salah kita tulis dalam versi bahasa Indonesia. Misalnya, kita tulis Syawal dengan Syawwal; Muharam dengan Muharram; Rajab dengan Radjab, Zulhijah dengan Zulhijjah; Zulkaidah dengan Zulkaedah atau dengan Dzulkaidah.

Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved