Ruang Bahasa
Mengubah Idul Fitri Menjadi Idulfitri, Bathin Menjadi Batin
Soalnya, berkaca pada pengalaman yang sudah-sudah, kesalahan kita berbahasa justru paling banyak terjadi di saat-saat menjelang
Di bulan Syawal pun kita sering menulis salah kata yang satu ini, yakni halalbihalal. Kita bikin versi kita sendiri yang menyimpangi lema kata di KBBI, yakni halal bi halal atau halal bihalal. Mayoritas di antara kita merasa sangat janggal bila memakai kata halalbihalal.
Ha.lal.bi.ha.lal merupakan suatu kebiasaan khas Indonesia. Yakni, prosesi maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan, biasanya diadakan di sebuah tempat (auditorium, aula, dan sebagainya) oleh sekelompok orang.
Inti halalbihalal adalah silaturahmi, tapi kita juga sering salah menulis silaturahmi dengan silaturahim atau bahkan silaturrahim.
Saat memasuki Iduladha, kita juga kerap salah sebut Hari Raya Kurban dengan Hari Raya Qurban. Pada banyak kasus, kita juga merasa tak afdal kalau menulis taqwa dengan takwa. Padahal, versi terakhir inilah yang benar.
Hal yang hampir sama juga terjadi saat kita menulis infaq. Padahal, infaklah yang baku. Demikian pula saat menulis shadaqah, padahal sedekah yang baku. Juga saat menulis wakaf, seolah waqaflah yang baku.
Orang yang memberikan benda bergerak atau tidak bergerak miliknya untuk kepentingan umum (Islam) sebagai pemberian yang ikhlas, kita sebut waqif. Padahal, wakiflah yang baku.
Nama-nama salat fardu pun sering salah kita tulis. Yang baku adalah Subuh, Zuhur, Asar, dan Magrib, tetapi kita lebih suka memilih bentuk yang tidak baku: Shubuh, Zhuhur atau Lohor, Ashar, dan Maghrib.
Artinya, sampai saat usia bahasa Indonesia hampir 79 tahun, kita masih berlepotan menulis dan mengucapkan sebagian besar kata-kata Indonesia yang berasal dari bahasa Arab. Kita bahkan merasa tak afdal jika menyebut syaitan dengan setan dan syurga dengan surga. Seolah ada jaminan kita tak akan digoda jika menyebut setan dengan syaitan dan kita serasa tinggal selangkah lagi masuk surga karena sangat fasih menyebutkan surga dengan syurga.
Padahal, surga bukanlah bahasa Arab, melainkan bahasa Sanskerta. Asal katanya 'suar' (cahaya) dan 'ga' (jalan). Jadi, bisa diartikan sebagai perjalanan menuju cahaya. Dengan demikian, terasa janggal ketika surga 'diarabkan' menjadi 'syurga', mengingat ia bukan bahasa Arab dan bahasa Arab surga adalah 'janah'.
Kita juga khawatir dicap tidak fasih berbahasa Indonesia yang diserap dari bahasa Arab jika hanya menulis hadis, bukan hadist; tausiah, bukan tausyiah; aliah, bukan aliyah; sanawiyah, bukan tsanawiyah.
Hafiz pun teramat sering kita tulis versi salahnya, yakni hafidz. Perempuannya kita tulis hafidzah, bukan hafizah. Untuk ustaz pun kita lebih doyan menggunakan bentuk tak bakunya, yakni ustad atau ustadz. Ustaz perempuan kita namakan ustadzah, bukan ustazah. Hal yang sama kita berlakukan serupa untuk kata tahfiz, lalu kita tulis tahfidz. Padahal, itu bentuk tidak baku.
Pendeknya, makin ke sini kita semakin kearab-araban. Kita seakan lupa bahwa bahasa Indonesia itu berasal dari bahasa Melayu Riau. Serapan dari bahasa asing (Arab) maupun bahasa daerah hanyalah sebagai salah satu upaya untuk memperkaya kosakata bahasa Indonesia. Namun, penulisan maupun pelafalannya, tetap versi bahasa Indonesia.
Masih seringnya kita salah tulis dan salah ucap kata-kata dalam bahasa Indonesia yang diserap dari bahasa Arab, sangat mungkin disebabkan kita tidak taat asas (konsisten) menerapkan ketentuan yang menjadi kesepakatan dua menteri (Mendikbud dan Menag) pada tahun 1987 tentang Transliterasi huruf Arab ke huruf Latin.
Melalui Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor: 158 Tahun 1987 dan Nomor: 0543b/U/1987 telah ditetapkan Pedoman Transliterasi Arab-Latin.
Transliterasi dimaksudkan sebagai pengalih-hurufan dari abjad yang satu ke abjad yang lain.
Transliterasi Arab-Latin di sini ialah penyalinan huruf-huruf Arab dengan huruf-huruf Latin beserta perangkatnya.

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.