Kupi Beungoh
Jalan Terjal Gubernur Aceh 2024-2029 - XVII: Aceh -Jakarta,Muzakir, Van Heutz, Pusat Kekuasaan
Kasus Kilang LNG Arun, di Blang Lancang adalah bukti sejarah betapa kedekatan penguasa daerah dengan pimpinan nasional adalah faktor yang sangat krusi
Apalagi dalam kasus seperti kilang LNG Arun yang merupakan sumber uang negara. Pak Harto pada masa itu layaknya malaikat yang sangat ditakuti dan disegani
Muzakir memang mendapatkan ujian yang sama dengan Jenderal Van Heustz dalam sektor Migas , terutama dalam pilihan lokasi kilang pengolahan.
Mereka berdua menanti vonis akhir dari atasan mereka, Van Heutsz gagal, karena tak dekat dengan pusat kekuasaan di Batavia dan Amsterdam.
Baca juga: Bustami Masuk Survei NasDem Sebagai Calon Gubernur Aceh pada Pilkada 2024
Muzakir berhasil karena dekat, didengar, dan dipercaya oleh pemegang kekuasaan tertinggi.
Ia berhasil meyakinkan atasannya tentang penentuan lokasi Kilang LNG Arun di Blang Lancang.
Perbedaan van Heustz dengan Muzakir Walad dalam koteks kedekatan dan kepercayaan penguasa teringgi hanya ada pada dua tiga kata. Muzakir dekat, dipercaya, dan didengar. Van Heustz? antonim dari ketiga kata itu.
Tak ada keterangan yang banyak dan lengkap tentang kenapa Muzakir sangat dekat dan di percaya oleh Suharto.
Ada yang menduga karena beberapa hal. Pertama , Muzakir dianggap dan dipercaya oleh Suharto mampu berkomunikasi dengan baik dengan beberapa “orang penting” DI/TII, terutama Tgk Daud Beureueh dan kawan kawannya yang baru saja bergabung kembali ke pangkuan ibu pertiwi.
Kedekatan itu sama sekali tidak mengurangi komitmen dan kesetiaan kebangsaan Muzakir terhadap NKRI.
Muzakir sangat tegas dan tidak akan tedeng aling-aling, kalau sudah menyangkut dengan ideologi kebangsaan Pancasla dan keutuhan NKRI.
Namun ia juga sangat hormat, sopan, dan persuasif, ketika berinteraksi dengan Beureueh dan pengikutnya.
Muzakir juga dianggap piawai oleh Soeharto, karena mampu memanfaatkan keahlian putra-putra Aceh yang mengabdi di USK dan IAIN ArRaniry.
Dua persoalan besar nasional ,yakni pendekatan pembangunan tehnokratis untuk tingkat lokal dan kerukunan ummat beragama , mendapatkan solusinya di Aceh dalam bentuk nyata dibawah kepemimpinan Muzakir.
Ketika Soeharto berkuasa dan menjadikan pembangunan sebagai “ideologi kedua” setelah Pancasila, ia merekrut staf pengajar UI, para ekonom untuk menjadi pembantunya untuk jabatan berbagai kementrian.
Kelompok itu terdiri dari Wijoyo Cs- Ali Wardana, Emil Salim, Sumarlin, Sadli, dan lain lain.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.