Kupi Beungoh

Zina Dilokalisasi, Poligami Dihujat, Paradoks Sosial dan Religius dalam Masyarakat Modern

Secara sosial, poligami dapat menyebabkan ketidakstabilan dalam rumah tangga, terutama jika prinsip keadilan dan keseimbangan tidak dipenuhi

Editor: Muhammad Hadi
FOR SERAMBINEWS.COM
Tgk Mustafa Husen Woyla, Ketua Umum DPP ISAD, Alumni Dayah BUDI Lamno dan Pengamat Bumoe Singet 

Zina Dilokalisasi, Poligami Dihujat
( Paradoks Sosial dan Religius dalam Masyarakat Modern)

Oleh Tgk Mustafa Husen Woyla *)

Kontroversi poligami dan fenomena zina mencerminkan konflik yang lebih luas dalam masyarakat modern antara nilai-nilai tradisional dan perkembangan sosial kontemporer.

Poligami sering kali dikritik sebagai praktik patriarkal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kesetaraan gender.

Sementara itu, zina, meskipun dikecam secara moral dan religius, tampaknya semakin diterima atau ditoleransi dalam berbagai budaya.

Bahkan di negara-negara Islam, banyak orang di media sosial yang memamerkan hubungan haram dan membahas pengalaman seksual mereka secara terbuka.

Artikel ini berupaya mengeksplorasi dimensi sosial, hukum, dan etis dari kedua fenomena tersebut serta menyoroti kontradiksi dalam penerimaan mereka di masyarakat.

Kontroversi Poligami: Perspektif Sosial dan Agama

Poligami, praktik di mana seorang pria memiliki lebih dari satu istri, masih legal dan diterima dalam beberapa budaya dan agama, termasuk dalam Islam, dengan syarat-syarat yang ketat untuk menjaga keadilan dan kesejahteraan istri-istri.

Namun, dalam realitas sosial, praktik ini sering kali menimbulkan masalah dinamika keluarga yang kompleks dan ketegangan antar anggota keluarga.

Implikasi Sosial dari Praktik Poligami

Secara sosial, poligami dapat menyebabkan ketidakstabilan dalam rumah tangga, terutama jika prinsip keadilan dan keseimbangan tidak dipenuhi.

Anak-anak dan istri-istri mungkin mengalami persaingan dan kecemburuan, yang dapat mengganggu harmoni keluarga.

Di banyak masyarakat, poligami juga bisa membawa stigma sosial yang tidak etis bagi wanita yang terlibat, terutama kepada istri kedua dan seterusnya.

Hal ini sering kali dipengaruhi oleh kampanye negatif yang menganggap bahwa istri kedua adalah perusak rumah tangga. Padahal, praktik ini masih diizinkan oleh agama dan negara.

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved