Kupi Beungoh
Fenomena Generasi Aceh Mabuk Jadi Selebgram
muncul selebgram di Aceh yang sering menggunakan bahasa kasar dan kotor, serta salah kaprah dalam menyambut dan menilai para kreator konten
Ini adalah tugas kita untuk memastikan bahwa media sosial tetap menjadi tempat yang mendukung nilai-nilai positif dan memberikan dampak yang baik bagi masyarakat.
Baca juga: Pria Aceh Utara Sebarkan Foto Bugil Mantan Istri ke FB dan Tiktok Dihukum Denda Rp 750 Juta
Terperangkap dalam Bisnis Orang Lain, Kita sedang terperangkap dalam bisnis orang lain.
Platform media sosial sering kali mengeksploitasi pengguna dengan membuat mereka terjebak dalam konten yang menarik perhatian tetapi tidak bermanfaat.
Kita adalah pasar yang menyedot paket data dan waktu kita dengan sia-sia. Konten unik dan nyeleneh memang menarik banyak perhatian, tetapi hanya sedikit yang benar-benar memiliki makna dan nilai.
Ini adalah strategi untuk memastikan agar sistem algoritma tetap berjalan dengan lancar tanpa menimbulkan kecurigaan.
Gunakan Media Sosial dengan Bijak
Mari kita gunakan media sosial dengan bijak. Jangan membuat konten aneh hanya demi popularitas.
Jangan latah mengikuti jejak para selebgram, TikToker, YouTuber, atau influencer lainnya tanpa berpikir panjang.
Hakikatnya, mereka adalah alat bisnis bagi pemilik aplikasi yang memanfaatkan popularitas mereka untuk keuntungan finansial.
Mari kita jadikan media sosial sebagai alat untuk menyebarkan hal-hal positif dan membangun masyarakat yang lebih baik.
Fenomena Ketua Seleb dan Jhon Yahya
Tanda-tanda kebodohan, contoh nyata dari kebodohan dalam fenomena ini adalah masalah Jhon Yahya Tunai Nazar (peuleuh kaoy).
Pria asal Bogor ini viral di media sosial karena perjalanan uniknya dari Bogor ke Sabang Aceh, yang memakan waktu enam bulan.
Mengapa hanya di Aceh ia mendapatkan perhatian, sementara daerah lain yang dilaluinya tidak terlalu diperhatikan?
Baca juga: Penipuan di Medsos Makin Marak, Para Mahasiswa UBBG Diperingatkan Waspadai Hoaks
Fenomena ini menunjukkan betapa dangkalnya penilaian masyarakat terhadap sesuatu yang viral—sering kali hanya terjebak pada tampilan tanpa memikirkan substansi dan dampaknya.
Ka hana mupu lee. Male dan kanjai kawom, ban sigom donya. Cuma kiban taneuk peugah genarasi lemah "Lage Alee toh beulacan, barangpeue takheun malee tan, Alu penumbuk belacan,, apa pun kita katakan tidak malu."
Harapan kepada pemuka agama dan tokoh adat, jangan pernah memberikan legitimasi dan ruang kepada mereka yang hanya mencari sensasi dan keuntungan pribadi di tengah masyarakat yang religius dan berbudaya.
Selalu ada cara untuk memanfaatkan media sosial dengan bijak dan produktif, tanpa terjebak dalam jebakan bisnis orang lain.
Simpul kata, mari kita gunakan kesempatan mudahnya mengakses informasi dengan hal positif dan kreativitas, bukan ajang peudeuh bangai demi cuan, manoe lam god (menampakkan kebodohan demi cuan rela mandi dalam god).
Jadi, kita kembali ke nilai-nilai yang mendasar, menjaga agar media sosial tidak menjadi ladang penipuan dan kebodohan, melainkan sebuah platform yang mendukung pembelajaran, kreativitas, dan kebaikan. [Email: risalahbuyawoyla@gmail.com]
*) PENULIS adalah Ketua Umum ISAD, Wakil Pimpinan Dayah Darul Ihsan Abu Krueng Kalee, dan Pengamat Bumoe Singet
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.