Kupi Beungoh
PON Aceh-Sumut XXI : Mendorong Kebangkitan Ekonomi dan Budaya Melalui Digitalisasi Pembayaran
Dalam menghadapi era digital, digitalisasi pembayaran melalui QRIS menjadi kunci untuk mendorong kebangkitan ekonomi dan budaya Aceh.
Tarif tersebut lebih murah dibandingkan metode pembayaran digital lain seperti kartu debit beda bank yang dapat berkisar 0,5 % hingga 1 % .
Bahkan MDR QRIS lebih murah dibanding tarif MDR di Malaysia (DuitNow QR) sebesar 0,5 % ; Filipina (QRPH) sebesar 1,25 % hingga 1,6 % , atau Singapura (SGQR) hingga sebesar 0,8 % .
Oleh karena itu, melalui efisiensi dan kemudahan dari QRIS, diperlukan akselerasi penggunaan QRIS di berbagai kalangan.
Akselerasi tersebut perlu dilakukan oleh seluruh stakeholders terutama dari perbankan syariah sebagai penyedia utama layanan perbankan di Aceh.
Sejarah Sistem Pembayaran di Aceh
Sejak jaman kerajaan, Bangsa Aceh terkenal mampu beradaptasi terhadap segala perubahan termasuk dalam hal sistem pembayaran dan perdagangan.
Kondisi ini tentu akan memudahkan Masyarakat Aceh untuk menerima dan memanfaatkan QRIS sebagai system pembayaran masa kini.
Bangsa Aceh pada masa tersebut telah mengadopsi berbagai sistem pembayaran melalui berbagai jenis mata uang.
Aceh terletak di lokasi strategis perdagangan dan menjadi produsen komoditas global seperti lada, yang mendorong aktivitas perdagangan Aceh menjadi sangat maju pada masa itu.
Menurut Sudirman (2018), sejak abad ke-12 hingga 13 Masehi, Aceh (Kerajaan Samudera Pasai) telah melakukan perdagangan dengan bangsa Tiongkok dan India menggunakan mata uang perak yang disebut Ketun.
Kemudian, pada saat Bangsa Portugis mendominasi perdagangan, Aceh mulai menggunakan mata uang Reyal atau Ringgit Meriam.
Hingga akhirnya di masa Sultan Muhammad Malik Al-Zahir (1297 – 1326 M), dikeluarkan mata uang emas pertama di bekas Kerajaan Pasai berupa Deureuham.
Mata uang tersebut pada saat ini diketahui menjadi salah satu mata uang tertua di Nusantara.
Sistem pembayaran melalui penggunaan mata uang yang mandiri juga berlanjut dengan berbagai inovasi yang dilakukan oleh Kerajaan Aceh, baik dari sisi bahan, spesifikasi, dan ragam mata uang, disesuaikan dengan kebutuhan pada masa itu. Mulai dari Duet Manok (uang tembaga adopsi dari bangsa Inggris), Keuh (mata uang timah), dan Kupang (mata uang dari perak).
Kerajaan Banda Aceh Darussalam pada masa Sultan Alaudin Riayatsyah Al-Kahar (1537 – 1568 M) bekerjasama dengan Turki Ottoman untuk mengirimkan ahli-ahli pembuatan mata uang ke Aceh.
Inovasi ini dilanjutkan oleh Sultan Iskandar Muda dengan mendatangkan ahli pembuatan mata uang dari Prancis ke Aceh.
Digitalisasi Pembayaran
QRIS
Quick Response Code Indonesian Standard
PON Aceh-Sumut 2024
PON
kupi beungoh
Serambinews.com
Serambi Indonesia
Integritas dan Sistem Bercerai, Korupsi Berpesta |
![]() |
---|
Kemudahan Tanpa Tantangan, Jalan Sunyi Menuju Kemunduran Bangsa |
![]() |
---|
Memaknai Kurikulum Cinta dalam Proses Pembelajaran di MTs Harapan Bangsa Aceh Barat |
![]() |
---|
Haul Ke-1 Tu Sop Jeunieb - Warisan Keberanian, Keterbukaan, dan Cinta tak Henti pada Aceh |
![]() |
---|
Bank Syariah Lebih Mahal: Salah Akad atau Salah Praktik? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.