Konflik Suriah

Assad Tidak Pernah Berhasil Menumpas Pemberontak Suriah yang Akhirnya Kembali Menggulingkannya

Pemerintahannya kini berjuang untuk mengatasi ketidakstabilan politik, kehancuran ekonomi, dan meningkatnya ketegangan sektarian di dalam negeri

Penulis: Sri Anggun Oktaviana | Editor: Muhammad Hadi
Omar Albam/Associated Press
Foto Presiden Suriah Bashar Al-Assad tampak penuh lubang peluru di sebuah kantor pemerintah Suriah usai serangan pemberontak di Hama, Jumat (6/12/2024). 

Pemerintahan keluarga Assad terus mempertahankan dominasi sekte Alawite mereka di negara mayoritas Muslim Sunni, serta menjaga hubungan erat dengan Iran dan posisi yang tegas terhadap Israel dan AS.

Pada tahun 2011, pemberontakan besar-besaran yang dimulai dari tuntutan demokrasi dalam "Arab Spring" menjadi konflik besar yang dikenal sebagai perang saudara Suriah.

Meskipun Assad berhasil mempertahankan kekuasaannya berkat dukungan militer Rusia dan milisi yang didukung Iran, ia tidak berhasil memulihkan sepenuhnya negara yang hancur akibat perang tersebut. Bahkan setelah bertahun-tahun berjuang untuk merebut kembali wilayah yang hilang, banyak bagian Suriah yang tetap berada di luar kendali negara, dengan ribuan nyawa hilang dan lebih dari seperempat populasi negara itu terpaksa mengungsi ke luar negeri.

Asa untuk membangun kembali negara Suriah yang utuh semakin pudar. Assad dipandang oleh banyak kalangan sebagai pemimpin yang menyulut sektarianisme, meskipun ia sendiri berusaha mempertahankan citra Suriah sebagai benteng nasionalisme Arab sekuler.

Ketika kelompok pemberontak yang terinspirasi oleh al-Qaeda semakin berkembang, banyak minoritas Suriah, termasuk orang Kristen dan Alawite, melihat Assad sebagai pelindung mereka dari ekstremisme Islam Sunni.

Namun, bagi lawan-lawan politiknya, Assad justru memperburuk ketegangan sektarian tersebut.

Selama perang, Assad juga dituduh menggunakan senjata kimia terhadap pemberontak, yang akhirnya memicu reaksi internasional, terutama dari AS yang menganggapnya sebagai pelanggaran berat.

Meskipun ia membantah tuduhan ini, serangan gas sarin di Ghouta pada 2013 dan penggunaan bom barrel yang menghancurkan wilayah-wilayah pemberontak semakin memperburuk citranya di mata dunia internasional.

Meskipun tetap menjadi paria di dunia Barat, beberapa negara Arab yang sebelumnya mendukung lawan-lawan Assad mulai membuka hubungan dengannya kembali.

 Salah satunya adalah kunjungannya ke Uni Emirat Arab pada tahun 2022 yang menyambutnya dengan hangat.

 Namun, meskipun beberapa negara Arab mencoba untuk mendekatinya, Assad tetap dibayangi oleh masa lalu penuh kontroversinya, termasuk hubungan dengan Hezbollah, yang terlibat dalam pembunuhan mantan Perdana Menteri Lebanon, Rafik al-Hariri, pada 2005.

Bashar al-Assad, yang sebelumnya dikenal sebagai dokter mata yang menjalani pendidikan di London, sering kali mempresentasikan dirinya sebagai orang yang sederhana dan dekat dengan rakyat.

Namun, setelah ia menggantikan ayahnya sebagai presiden, harapan untuk reformasi politik di Suriah mulai meredup. Meskipun sempat mengusung reformasi ekonomi dan kebijakan liberal di awal masa pemerintahannya, perubahan-perubahan ini tidak bertahan lama.

Ketegangan dengan Barat semakin memburuk setelah invasi AS ke Irak pada 2003, yang mengubah peta kekuatan di Timur Tengah.

Di tengah tantangan yang terus datang, Assad bertahan, meski dihadapkan pada pertanyaan besar tentang masa depan Suriah.

Pemerintahannya kini berjuang untuk mengatasi ketidakstabilan politik, kehancuran ekonomi, dan meningkatnya ketegangan sektarian di dalam negeri.

Apakah ia dapat mengembalikan stabilitas dan membangun kembali negara yang porak-poranda, atau apakah kekuasaannya akan terus dipertanyakan oleh pemberontak yang terus melawan, masih menjadi misteri besar yang belum terjawab.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved