Breaking News

KUPI BEUNGOH

Idul Fitri, Kopi Aceh, “Dopamin”, dan Rasionalitas

Bagi sebagian besar masyarakat Aceh, paling kurang sampai hari ini, yang namanya minum kopi itu, ya kopi yang dibuat, dan diminum di kedai.

YouTube Serambinews
Sosiolog dan Guru Besar USK, Prof Ahmad Humam Hamid 

Bahwa ada  kemajuan material dan nonmaterial yang tak seimbang dalam budaya kopi dan kedai kopi Aceh, semua itu akan diselesaikan oleh “waktu.”  

Evolusi budaya kopi dan kedai kopi Aceh  yang telah terpapar dengan modernitas, rasanya belum tertlalu tuntas karena masih terikat dengan nilai-nilai. 

Weber-sosiolog kondang Jerman abad ke 18 menyebutkan evolusi masyarakat tradisonal menuju masyarakat modern tak dapat dipisahkan dari semakin menonjolnya “rasionalitas”.

Apa yang menjadi “penghalang” ataupun “pengontrol” rasionalitas dalam proses modernisasi adalah nilai. 

Perang modernisasi adalah perang pertaruhan nilai lama yang sering berlabel tradisi dengan perubahan akibat datangnya nilai baru.

Di Aceh, lihat saja misalnya, betapa banyak mobil dan kenderaan roda dua berputar-putar di depan kedai kopi utama atau kedai kopi biasa yang seharusnya dibuka setelah lebaran, namun tetap saja ditutup.  

Pemilik kopi tetap saja bergeming untuk tak membukanya, walaupun potensi pendapatannya besar dan bahkan sangat besar dibandingkan hari-hari sebelumnya. 

Banyak kedai kopi bahkan tak baru mulai membukanya selelah selesai puasa sunat enam hari hari pasca-Ramadan. Bukankah secara fiqih sudah oke?

Kenapa begitu banyak potensi pendapatan dibiarkan berlalu?

Bukankah manajemen kedai kopi bisa diatur tentang pembagian pekerjaan di kedai kopi dan bahkan komitemen dengan pemasok kue-kue dari UKM rumah tangga?

Kenapa potensi uang itu dibiarkan berlalu? Apakah modernitas yang telah bersentuhan dan menjamur tidak sejalan dengan rasio? 

Bukankah salah satu inti rasionalitas berhubungan dengan kalkulasi laba rugi? Apakah kemajuan kedai kopi Aceh mewakiliu potret “modernitas cacat”?

Mengaitkan “modernitas” dan “rasionalitas” dalam kasus kedai kopi Aceh, apalagi dalam suasana Idul Fitri kurang relevan. 

Rasionalitas itu ada batasnya, bahkan ada bebagai ragam rasionalitas.

Sering banyak orang, ketika berbicara tentang rasionalitas, yang terbayang hanya rasionalitas instrumental.

Padahal Weber mengajukan juga ragam rasionaitas lainnya yang disebutnya “rasionaitas subtantif”. 

Jenis rasionalitas ini adalah logika berpikir yang berhubungan nilai, bahkan “nilai sakral” yang tak bisa dikompromikan.

Rasionalitas substantif tidak sama dengan rasionalitas yang dipikirkan banyak orang, yang berhubungan dengan hitungan kalkulatif laba rugi.  

Jika yang instrumental berpikir dengan motif keuntungan, yang substantif berpikir tentang yang sakral-tentang yang bahkan “suci”.

Apakah pemilik kedai kopi Aceh tidak rasional membuang peluang pendapatan-baca uang, karena membiarkan enam hari lewat tak membuka kedainya setelah Idul Fitri

Jawabannya tentu saja tidak, karena mereka menganut rasionalitas jenis lain, yakni rasionalitas substantif. 

Ini adalah bentuk pemahaman dan penghayatan terhadap kesucian awal Syawal.

Periode ini dimuliakan sebagai ajang silaturrahmi  sembari menutup fase penyucian diri selama bulan Ramadhan yang berlalu. 

Ada logika tersendiri yang tak kalah hebatnya dari logika instrumental.

Akankah logika substantif ini tergerus oleh evolusi zaman?

Jawabanya mungkin saja, hanya masalahnya cepat atau lambat. 

Apa katalisator yang membuat cepat atau lambat tergerusnya logika substantif itu?

Ada cukup banyak variabelnya. Salah satunya adalah ceramah para dai Aceh, baik langsung atau lewat media sosial. 

Jika saja para dai itu menyebutkan banyak frasa “kaya itu mulia” kemungkinan besar logika substantif akan hilang perlahan dan bahkan cepat 

Sebaliknya jika para dai tak mau sedikitpun menyentuh tentang “menjadi kaya”-baik hakekat, cara, maupun esensinya dalam ibadah, maka akan cukup banyak komponen lain yang akan menggerusnya. 

Pada akhirnya apa yang telah, sedang, dan akan terjadi dengan modernitas dan rasionalitas, mengambil potret dari kopi dan kedai kopi? 

Pelajaran dari tempat lain di dunia adalah semakin menonjolnya rasionalitas insrumental, dan semakin tergerus dan tersaringnya rasionalitas substantif.

Mau melihat banyak kedai kopi Aceh buka sehari setelah lebaran? Atau bahkan pada hari raya Idul Fitri

Tunggu saja, pasti akan datang. 

Kapan? Biarlah waktu yang membuktikan.

 

Banda Aceh, 6 Syawal 1446 H.

*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved