Kupi Beugoh
Pidie Jaya, Tempat Harapan Disusun Ulang di Antara Rak Buku
Keesokan harinya, saya menerima telepon dari Ibu Woro, Deputi Perpustakaan Nasional RI. Suara beliau terdengar tulus,
Gedung itu kini telah digunakan melayani masyarakat, dan pada 15 April 2025, saya kembali ke tanah ini untuk menyaksikan langsung peresmiannya.
Selama periode 2019 hingga 2025, Kabupaten Pidie Jaya menjadi salah satu daerah penerima bantuan pengembangan perpustakaan paling lengkap di Provinsi Aceh.
Melalui skema Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik, total bantuan yang telah dikucurkan pemerintah pusat mencapai Rp11 miliar, mencakup pembangunan gedung perpustakaan senilai Rp10 miliar, serta pengadaan perabot (Rp500 juta), perangkat TIK (Rp300 juta), dan bahan pustaka (Rp200 juta).
Pada tahun 2025, dukungan ini dilengkapi dengan DAK Nonfisik sebesar Rp500 juta yang dialokasikan untuk memperkuat program budaya baca masyarakat, pelestarian naskah kuno, dan operasional layanan perpustakaan.
Bantuan ini tidak hanya hadir sebagai wujud dukungan teknis, tetapi juga merupakan bentuk nyata kepercayaan pemerintah pusat terhadap kesiapan dan komitmen Pidie Jaya dalam membangun sektor literasi secara berkelanjutan.
Di luar dukungan anggaran, Perpusnas juga telah menyalurkan berbagai program strategis yang memperkuat dimensi sosial dan edukatif perpustakaan.
Di antaranya adalah bantuan bahan bacaan bermutu untuk 13 desa, satu unit mobil perpustakaan keliling, serta penetapan Pidie Jaya sebagai penerima Transformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial (TPBIS) pada tahun 2022 dan 2023.
Semua ini menunjukkan bahwa pembangunan perpustakaan di Pidie Jaya bukan semata inisiatif lokal, melainkan juga hasil dari relasi timbal balik antara pusat dan daerah yang saling percaya dan saling mendukung.
Ketika pusat melihat kesiapan dan ketekunan daerah, maka bantuan tidak hanya turun, tetapi juga diarahkan secara strategis untuk menciptakan dampak yang lebih luas dan berkelanjutan.
Monumen keteguhan
Bagi saya, gedung ini bukan sekadar pencapaian fisik. Ia adalah monumen dari keteguhan dua perempuan pustakawan yang tak pernah menyerah. Ia adalah wujud dari mimpi yang terus diperjuangkan, bahkan ketika ditolak, bahkan ketika dilewati.
Dari pengalaman saya sebagai kepala perpustakaan di masa krisis hingga kini menjadi bagian dari Perpusnas, saya bisa berkata:
Bangkitnya Pidie Jaya adalah pelajaran tentang apa arti keberanian, ketekunan, dan cinta pada literasi. Gedung ini adalah bukti bahwa mimpi tentang masyarakat literat itu bukan utopia, asalkan ada yang setia mengawalinya.
Saya bersaksi, Pidie Jaya sudah membuktikannya.
Semoga kisah Pidie Jaya ini menjadi refleksi bahwa literasi bisa lahir dari puing-puing, dan perpustakaan tak akan pernah runtuh selama ada yang bersedia membangunnya kembali. (*)
*) PENULIS adalah Kepala Pusat Pengembangan Perpustakaan Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi – Perpustakaan Nasional RI. Sebelumnya menjabat Kepala Perpustakaan Universitas Syiah Kuala
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
BACA TULISAN KUPI BEUNGOH LAINNYA DI SINI
Empat Pulau Aceh “Dipindah” ke Sumut: Menjaga Wilayah, Merawat Martabat |
![]() |
---|
Idul Fitri, Momentum Silaturrahmi Dan Memperbaiki Diri |
![]() |
---|
Bulan Sya'ban dan Khanduri Beureuat di Aceh, Tradisi Leluhur sebagai Bentuk Syukur kepada Allah SWT |
![]() |
---|
Peringati Bulan PRB Nasional 2024, Ajang Aceh Tingkatkan Kesadaran dan Kesiapsiagaan Hadapi Bencana |
![]() |
---|
Mewujudkan Visi Kesehatan Indonesia: Sinergi di Balik Hari Dokter Nasional |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.