Breaking News

Kupi Beungoh

Aceh, Islam, dan Modernitas: Warisan dan Wawasan

Ketika Islam dijadikan simbol kosong yang dipisahkan dari nilai-nilai keadaban, maka ia menjadi kaku--dan terkadang, memusuhi kehidupan itu sendiri.

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/HANDOVER
Prof. Dr. Ahmad Humam Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Warisan sejarah kita besar. 

Tapi ia bukan hanya untuk dipajang dalam museum atau disinggung dalam pidato. 

Ia harus diterjemahkan menjadi strategi. 

Jika Sultan Iskandar Muda hidup hari ini, ia barangkali lebih sibuk membangun pusat riset energi terbarukan di Lhokseumawe daripada sibuk mengatur perempuan tidak duduk mengangkang di kereta roda dua, sekaligus dengan aturan pakaian.

Kita lupa bahwa Islam bukan hanya tentang tatanan hidup pribadi. 

Ia adalah peta besar tentang bagaimana masyarakat hidup, bekerja, dan tumbuh bersama. Ia tidak anti terhadap perubahan--bahkan sejak awal, Islam hadir sebagai revolusi: sosial, spiritual, dan intelektual.

Tapi sekarang, di banyak tempat, termasuk di Aceh, perubahan justru dicurigai. 

Pemuda yang bertanya dianggap memberontak bahkan dituduh liberal. 

Perempuan yang berpikir dianggap melewati batas. 

Kata “ijtihad” dibatasi hanya untuk mereka yang memiliki gelar dan jabatan tertentu.

Padahal, tantangan Aceh hari ini sangat nyata dan sangat menyesakkan: angka pengangguran muda yang tinggi, daya saing rendah, pendidikan yang belum nyambung dengan keterampilan abad 21, dan kebijakan pembangunan yang masih acak acakan.

Saya ingin mengusulkan satu sudut pandang sederhana: barangkali yang kita perlukan bukan Islam yang lebih keras, tapi Aceh yang lebih cerdas.

Cerdas dalam merancang masa depan. 

Cerdas dalam menyusun ulang hubungan antara agama dan pemerintahan. 

Cerdas dalam mendidik anak-anak, bukan hanya agar mereka takut, tapi agar mereka mampu dan percaya diri.

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved