Kupi Beungoh

Aceh, Islam, dan Modernitas: Warisan dan Wawasan

Ketika Islam dijadikan simbol kosong yang dipisahkan dari nilai-nilai keadaban, maka ia menjadi kaku--dan terkadang, memusuhi kehidupan itu sendiri.

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/HANDOVER
Prof. Dr. Ahmad Humam Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Di sana, masjid tetap berdiri agung, tetapi tidak menjadi simbol ketakutan; melainkan ruang spiritual yang damai. 

Tidak ada razia moral, tapi ada etika sosial yang terbangun karena sistem yang rapi.

Dan pertanyaannya makin terasa menusuk: mengapa Aceh, yang begitu bangga dengan syariat, belum berhasil membentuk wajah Islam yang membebaskan dan menggugah harapan?

Barangkali masalahnya bukan pada Islam. Tapi pada cara kita memperlakukannya.

Kita terlalu menjadikan Islam sebagai pagar, bukan jendela. 

Ia dipakai untuk membatasi gerak, bukan untuk membuka wawasan. 

Maka kita pun melihatnya penggunaannya lebih sering sebagai alat kontrol moral di ruang publik--razia, sanksi sosial, dan baliho penuh peringatan.

Padahal, jika Islam dipahami sebagai jendela--yang membuka cakrawala berpikir, memperluas empati, dan menyalakan daya cipta--maka syariat bukan lagi sekadar seperangkat larangan, melainkan fondasi etis untuk membangun masyarakat yang sehat, adil, dan berdaya saing. 

Aceh, dengan status kekhususannya, sesungguhnya punya peluang besar untuk menunjukkan bahwa nilai-nilai Islam bisa menjadi motor penggerak reformasi, bukan penghambatnya. 

Tapi itu hanya mungkin jika kita berani memindahkan titik berat dari simbol ke substansi, dari takut kepada perbedaan menuju kesiapan untuk belajar dan berbenah.

Padahal, sejarah Islam tidak miskin akan pemimpin besar yang berpikir ke depan. 

Dari Baghdad hingga Andalusia, dari Samudera Pasai hingga Istanbul, Islam pernah menjadi pusat ilmu pengetahuan, diplomasi, ekonomi, dan seni.

Baca juga: Peneliti Tulisan Kuno Tgk Taqiyuddin Muhammad Sebut Pidie sebagai Pusat Peradaban Islam Aceh

Bangga dengan Warisan, Lupa Merancang Wawasan

Ketika Islam dijadikan simbol kosong yang dipisahkan dari nilai-nilai keadaban, maka ia menjadi kaku--dan terkadang, memusuhi kehidupan itu sendiri.

Aceh sering merasa bangga dengan warisan, tapi lupa merancang wawasan. 

Kita disibukkan  merayakan masa lalu tanpa sangat cukup siap menyusun masa depan.

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved