Kupi Beungoh
Aceh, Islam, dan Modernitas: Warisan dan Wawasan
Ketika Islam dijadikan simbol kosong yang dipisahkan dari nilai-nilai keadaban, maka ia menjadi kaku--dan terkadang, memusuhi kehidupan itu sendiri.
Di sana, masjid tetap berdiri agung, tetapi tidak menjadi simbol ketakutan; melainkan ruang spiritual yang damai.
Tidak ada razia moral, tapi ada etika sosial yang terbangun karena sistem yang rapi.
Dan pertanyaannya makin terasa menusuk: mengapa Aceh, yang begitu bangga dengan syariat, belum berhasil membentuk wajah Islam yang membebaskan dan menggugah harapan?
Barangkali masalahnya bukan pada Islam. Tapi pada cara kita memperlakukannya.
Kita terlalu menjadikan Islam sebagai pagar, bukan jendela.
Ia dipakai untuk membatasi gerak, bukan untuk membuka wawasan.
Maka kita pun melihatnya penggunaannya lebih sering sebagai alat kontrol moral di ruang publik--razia, sanksi sosial, dan baliho penuh peringatan.
Padahal, jika Islam dipahami sebagai jendela--yang membuka cakrawala berpikir, memperluas empati, dan menyalakan daya cipta--maka syariat bukan lagi sekadar seperangkat larangan, melainkan fondasi etis untuk membangun masyarakat yang sehat, adil, dan berdaya saing.
Aceh, dengan status kekhususannya, sesungguhnya punya peluang besar untuk menunjukkan bahwa nilai-nilai Islam bisa menjadi motor penggerak reformasi, bukan penghambatnya.
Tapi itu hanya mungkin jika kita berani memindahkan titik berat dari simbol ke substansi, dari takut kepada perbedaan menuju kesiapan untuk belajar dan berbenah.
Padahal, sejarah Islam tidak miskin akan pemimpin besar yang berpikir ke depan.
Dari Baghdad hingga Andalusia, dari Samudera Pasai hingga Istanbul, Islam pernah menjadi pusat ilmu pengetahuan, diplomasi, ekonomi, dan seni.
Baca juga: Peneliti Tulisan Kuno Tgk Taqiyuddin Muhammad Sebut Pidie sebagai Pusat Peradaban Islam Aceh
Bangga dengan Warisan, Lupa Merancang Wawasan
Ketika Islam dijadikan simbol kosong yang dipisahkan dari nilai-nilai keadaban, maka ia menjadi kaku--dan terkadang, memusuhi kehidupan itu sendiri.
Aceh sering merasa bangga dengan warisan, tapi lupa merancang wawasan.
Kita disibukkan merayakan masa lalu tanpa sangat cukup siap menyusun masa depan.
Aceh
aceh masa depan
warisan Kesultanan Aceh
kupi beungoh
Humam Hamid
Serambi Indonesia
opini serambi
Kemudahan Tanpa Tantangan, Jalan Sunyi Menuju Kemunduran Bangsa |
![]() |
---|
Memaknai Kurikulum Cinta dalam Proses Pembelajaran di MTs Harapan Bangsa Aceh Barat |
![]() |
---|
Haul Ke-1 Tu Sop Jeunieb - Warisan Keberanian, Keterbukaan, dan Cinta tak Henti pada Aceh |
![]() |
---|
Bank Syariah Lebih Mahal: Salah Akad atau Salah Praktik? |
![]() |
---|
Ketika Guru Besar Kedokteran Bersatu untuk Indonesia Sehat |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.