Kupi Beungoh
Panggung Teritorial: “Operasi Senyap” di Balik Penetapan Empat Pulau?
Istilah “operasi senyap” muncul karena masyarakat menilai putusan administratif berdampak luas tanpa partisipasi publik memadai.
Oleh: T. Abdul Hafil Fuddin*)
PERNYATAAN Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian soal penetapan empat pulau di Kabupaten Aceh Singkil menjadi bagian Provinsi Sumatera Utara menimbulkan pertanyaan publik: benarkah ada “operasi senyap” politik atau administratif di balik keputusan tersebut?
Mari kita bedah:
Proses Birokrasi dan Verifikasi
Dalam keterangan resmi di Kompleks Istana Negara, Selasa (10/6/2025), Mendagri Tito Karnavian menegaskan bahwa Keputusan Mendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau telah melalui verifikasi geografis dan koordinasi delapan instansi pusat.
“Semua sudah difasilitasi, dan kita terbuka jika ada pihak yang ingin menggugat secara hukum ke PTUN,” ujarnya seperti dilansir banyak media, termasuk Harian Serambi Indonesia.
Menurut Tito, pemerintah hanya ingin memastikan batas wilayah sesuai data resmi, tanpa kepentingan politik apapun.
Baca juga: Terkait 4 Pulau di Singkil Diambil Sumatra Utara, Tito Karnavian Persilakan Aceh Gugat ke PTUN
Sorotan DPRD Aceh Singkil
Meski proses “rapat berkali-kali” melibatkan Badan Informasi Geospasial, Pusat Hidrografi TNI AL, dan Topografi TNI AD, anggota DPRD Aceh Singkil Ahmad Nasution mempertanyakan kecepatan pengesahan keputusan yang terbit pada 25 April 2025.
“Publik perlu diyakinkan bahwa tidak ada tekanan politik untuk menggeser empat pulau dari Aceh ke Sumut,” katanya, menyinggung verifikasi lapangan terakhir yang berlangsung hampir bersamaan pada Mei-Juni 2022 namun belum mencapai konsensus.
Perspektif Good Governance
Istilah “operasi senyap” muncul karena masyarakat menilai putusan administratif berdampak luas tanpa partisipasi publik memadai.
Menurut prinsip good governance, kebijakan publik harus transparan. Jika prosedurnya sehat, tidak ada yang perlu ditutup-tutupi.
Saran Akademisi Geopolitik
Dr. Budi Santoso, pakar geopolitik LIPI, menyarankan verifikasi ulang batas pulau berdasarkan metodologi UNCLOS 1982 dan melibatkan tim independen.
“Delimitasi laut seharusnya mempertimbangkan garis pangkal pulau, bukan hanya garis pantai terdekat. Kesalahan metodologi ini bisa memicu sengketa di pulau-pulau kecil lainnya,” tuturnya.
Kritik Metodologi dan Dampak Hukum
Pertama, meski delapan instansi pusat terlibat, dokumen krusial soal verifikasi lapangan 2022 belum dibahas tuntas sebelum keputusan final.
Gubernur Aceh dan Bupati Aceh Singkil bahkan sempat melayangkan somasi.
Kedua, argumentasi “tarikan batas darat” yang digunakan pemerintah pusat tidak sesuai praktik internasional, potensial membuka preseden buruk dalam penyelesaian sengketa wilayah pulau.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.