Polemik Status Blang Padang

Mualem, Lapangan Blang Padang, dan Manifestasi Politik Al-Ghazali

Blang Padang bukan sekadar lahan, melainkan simbol kedaulatan sejarah dan identitas keislaman Aceh yang puluhan tahun terusik oleh klaim sepihak.

|
Editor: Yocerizal
IST/SERAMBINEWS.COM
Pemerhati Aceh dan juga Alumnus Magister Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ). 

Oleh: Mansur Syakban *) 

LANGKAH Gubernur Aceh, Muzakir Manaf atau Mualem yang menyurati Presiden Prabowo Subianto perihal tanah wakaf Blang Padang adalah manifestasi politik Al-Ghazali yang murni, dimana saat kekuasaan digunakan sebagai penjaga moral agama dan penjaga marwah rakyat. 

Di Bumi Syariat Islam ini, Blang Padang bukan sekadar lahan, melainkan simbol kedaulatan sejarah dan identitas keislaman Aceh yang puluhan tahun terusik oleh klaim sepihak institusi militer. 

Tindakan Mualem, sebagai representasi 5 juta penduduk, menegaskan bahwa kekuasaan eksekutif harus menjadi instrumen penegak keadilan dan nilai-nilai luhur agama, terutama ketika moralitas kekuasaan Pusat dipertanyakan atas ketidakjelasan status aset wakaf yang begitu sakral bagi masyarakat.

Penyelesaian melalui jalur politik dengan menyurati Presiden adalah pilihan strategis dan tepat. Bukan konfrontasi, melainkan penegasan hak berlandaskan bukti sejarah kuat dan aspirasi rakyat yang tak terbantahkan. 

Sejarah menunjukkan Blang Padang adalah wakaf Sultan Iskandar Muda dan Pemerintah Pusat punya tanggung jawab moral-politik untuk menanggapi serius permohonan ini. 

Pengembalian Blang Padang kepada nazir Masjid Raya Baiturrahman bukan sekadar administratif, melainkan rekonsiliasi sejarah dan penegasan komitmen negara terhadap kekhususan Aceh serta nilai-nilai keislaman yang tinggi.

Jika Al-Ghazali menegaskan agama adalah penjaga moral penguasa, maka dalam kasus Blang Padang, institusi wakaf dan suara rakyat adalah kompas moral bagi keputusan politik. 

Baca juga: Gubernur Aceh Bakal Bangun Rumah di Pulau Panjang, Siapa Mau Tinggal Daftar ke Bupati Aceh Singkil

Baca juga: 10 Pejabat Aceh Barat Daya Dibebas Tugaskan Karena Sedang Jalani Sidang Etik

Baca juga: Pemuda Muhammadiyah Selamatkan Warga Aceh Korban TPPO di Kamboja, Korban Tergiur Gaji Fantastis

Kegagalan menuntaskan isu ini akan menjadi catatan hitam hubungan pusat-daerah, mengikis kepercayaan publik, dan menunjukkan abainya negara pada warisan sejarah. 

Langkah Gubernur ini harus jadi preseden: kekuasaan wajib digunakan bijaksana untuk menegakkan keadilan dan menjaga marwah daerah, dengan agama sebagai penjaga moral utama setiap kebijakan. 

Ini ujian nyata bagi kepemimpinan nasional dalam memahami dan menghargai identitas religius dan kultural yang menjadi pilar keberagaman Indonesia.

*) PENULIS adalah Pemerhati Aceh dan juga Alumnus Magister Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ).

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved