Kupi Beungoh

Bukan Cuma Remaja: trend S-Line dan Mereka yang Sudah Menikah Tapi Masih FOMO Pamer Aib

Tren ini berasal dari drama Korea berjudul S-Line, adaptasi dari Webtoon populer yang mengisahkan seorang siswi SMA dengan kemampuan melihat garis

Editor: Amirullah
dok pribadi
Siti Nurramadani, Mahasiswi Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Ar-Raniry 

Di sinilah masalahnya. Ketika rasa takut ketinggalan dikemas dalam bentuk konten, batas antara hiburan dan harga diri jadi kabur. 

Orang mulai menjadikan aib sebagai “personal brand”. Mereka bangga menertawakan masa lalu kelamnya, seolah itu nilai jual yang sah. Padahal yang ditukar adalah integritas.

Fenomena ini menunjukkan bahwa eksistensi di dunia maya kini jauh lebih diprioritaskan dibandingkan penghargaan terhadap diri sendiri. 

Yang penting viral, bukan benar. Yang penting dapat like, bukan layak dihormati. Ini bukan hanya soal mentalitas generasi, tapi juga peringatan bahwa kita tengah menciptakan budaya di mana martabat bisa dikompromikan demi beberapa detik sorotan.

Baca juga: Arti Trend S Line Garis Merah di Atas Kepala yang Lagi Viral di Media Sosial, Ini Asal-Usulnya

Garis Merah di Atas Kepala: Tentang Bangga Berzina, Tapi Dibungkus Aplikasi 

Apa jadinya jika zina tak lagi dianggap salah, tapi justru dijadikan tren visual? Itulah yang sedang terjadi lewat fenomena S-Line: garis merah di atas kepala sebagai simbol koneksi seksual. 

Awalnya hanya fiksi dalam drama Korea, kini berubah jadi realita yang “dijual” di TikTok dan Instagram. Mereka menggambarkan seberapa banyak pengalaman seksual seseorang dengan bangga bukan lewat pengakuan, tapi melalui efek digital yang dinormalisasi.

Yang lebih miris, ini bukan terjadi di ruang tertutup, tapi di platform publik. Di layar gawai kita, anak-anak, remaja, hingga orang dewasa disuguhi konten pamer aib, dibungkus sebagai tren. Di balik candaan “seru-seruan aja”, terselip pesan bahwa dosa bisa jadi estetika. Bahwa kenakalan seksual bisa jadi konten viral.

Tak ada lagi batas antara nilai dan noise. Aplikasi yang dulunya alat ekspresi, kini bisa jadi jembatan menuju penyimpangan yang dilegitimasi. 

Sebuah pergeseran nilai yang diam-diam berbahaya. Bukan cuma soal moral, ini tentang bagaimana masyarakat mulai tersesat dalam “hiburan” dan lupa bahwa beberapa hal memang seharusnya disimpan, bukan dipamerkan.

Konten Boleh Bebas, Tapi Nilai Tetap Punya Batas

Di era ketika semua bisa jadi konten, kita dihadapkan pada dilema: sampai di mana batas ekspresi itu layak, dan kapan ia berubah jadi degradasi? Tren S-Line mungkin terlihat seperti hiburan sesaat. 

Tapi saat tubuh dan pengalaman pribadi dipamerkan demi like dan validasi, apa yang sebenarnya sedang kita perjuangkan?

Kita hidup di zaman yang menuntut eksistensi. Tapi eksistensi tak seharusnya meniadakan esensi. Kebebasan berekspresi bukan berarti bebas dari nilai. 

Ada garis tak kasat mata yang membedakan antara keberanian menyuarakan diri dan keberanian memamerkan yang seharusnya dijaga.

Ingat, tidak semua hal yang bisa dilakukan, layak untuk dilakukan. Tak semua yang viral itu benar. Dan tak semua yang terlihat keren hari ini akan membanggakan di masa depan. 

Saat semua serba bisa, justru kita diuji: apakah kita mampu berkata cukup, saat dunia meminta lebih?

Jangan Biarkan Dosa Jadi Estetik: Saatnya Kita Bicara

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved