Pojok Humam Hamid
Zohran Mamdani Dalam Arus Ideologi Politik Amerika Serikat
Zohran Mamdani adalah anak imigran asal India, lahir di Uganda, dan besar dalam budaya diaspora di New York, AS.
Ia juga aktif memperjuangkan reformasi kepolisian, penghapusan utang mahasiswa, perumahan yang adil, dan keadilan lingkungan.
Ia tidak ragu menyebut bahwa sistem Amerika saat ini terlalu berpihak pada orang kaya dan terlalu keras dan culas pada orang miskin.
Di tengah kampanye nasional yang sering dipenuhi iklan mahal dan janji-janji kosong, Mamdani justru mengandalkan pertemuan dengan warga, relawan akar rumput, dan media sosial sebagai sarana utama komunikasinya.
Ia sering terlihat berjalan kaki di daerah pemilihannya di Queens, berbicara langsung dengan warga tentang masalah sehari-hari seperti sewa rumah yang naik, gaji yang tidak cukup, atau diskriminasi dalam pelayanan publik.
Bagi sebagian orang, gaya Mamdani dianggap terlalu tajam atau bahkan “terlalu kiri.”
Tapi bagi banyak anak muda dan warga pekerja, ia adalah suara yang mewakili mereka--suara yang selama ini tidak punya tempat di ruang kekuasaan.
Posisi Mamdani dalam Partai Demokrat sangat rumit.
Ia memang anggota partai, tapi banyak kebijakannya justru menyerang fondasi partai itu sendiri.
Ia sering menyebut “Demokrat yang munafik”--yakni mereka yang berbicara soal keadilan tapi tetap menerima uang dari perusahaan real estate atau industri militer.
Sayap progresif dalam partai, seperti Ilhan Omar, dan Rashida Tlaib, dua perempuan muslim anggota Kongres AS, memang mendukung Mamdani secara umum.
Tapi mereka pun harus berhati-hati.
Kedua mereka sering ditekan oleh kepemimpinan partai agar “tidak terlalu vokal,” apalagi dalam hal isu Palestina.
Sementara itu, sayap moderat dan konservatif dari Partai Demokrat--mereka yang dekat dengan dunia usaha dan lembaga finansial besar--melihat Mamdani sebagai ancaman.
Bukan karena ia akan memenangkan kursi presiden, tapi karena ia bisa mengubah arah perdebatan publik.
Mamdani bukan sekadar aktivis--ia legislator resmi, punya platform, punya legitimasi, dan sangat pandai berpidato.
Dan itu membuat sistem lama merasa tidak nyaman.
Yang menarik, Mamdani juga punya kesamaan tertentu--secara bentuk, bukan isi--dengan politisi Partai Republik seperti J.D. Vance, senator dari Ohio dan kini menjadi wakil Presiden AS.
Keduanya adalah populis.
Mereka bicara langsung pada rakyat, mereka sama-sama tidak percaya pada elite, dan sama-sama ingin perubahan besar.
Bedanya, Vance ingin “mengembalikan” Amerika ke masa lalu yang katanya lebih baik--Amerika kulit putih, Kristen, maskulin.
Sementara itu, Mamdani ingin membongkar narasi itu sepenuhnya--ia bicara soal keadilan rasial, solidaritas antar-imigran, feminisme, dan pembebasan ekonomi.
Kedua mereka mempunyai arah dan fokus yang sangat berbeda, tapi lahir dari krisis yang sama, ketidakpercayaan terhadap sistem yang ada.
Dalam konteks global, sosok seperti Mamdani mengingatkan kita bahwa politik kiri belum mati.
Meski selama bertahun-tahun Amerika dikuasai oleh neoliberalisme dan kapitalisme ekstrem, kini mulai muncul generasi baru yang melihat bahwa sistem itu telah gagal.
Dalam pandangan kelompok kiri, AS telah gagal menyelamatkan lingkungan, gagal melindungi rakyat dari utang dan kemiskinan, dan gagal memberikan harapan akan masa depan yang adil.
Dan di tengah suara gaduh politik Amerika, suara seperti Zohran Mamdani mungkin masih minoritas.
Tapi ia adalah tanda zaman.
Zohran seakan mengirim pesan kepada partai Republik, bahkan partainya sendiri--Partai Demokrat, dan kepada publik AS, bahwa gelombang ide besar bisa lahir dari pinggiran—dan suatu saat bisa menggulung arus utama.(*)
*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.
Artikel dalam rubrik Pojok Humam Hamid ini menjadi tanggung jawab penulis.
Zohran Mamdani
Wali Kota New York
Amerika Serikat
pojok humam hamid
humam hamid aceh
Serambi Indonesia
Serambinews
20 Tahun Aceh Damai: Gen Z, Egepe, Pesimisme Konstruktif, dan Imajinasi Tragis |
![]() |
---|
Netanyahu dan Gaza City: Ketika Jalan Pulang dan Jalan Keluar Terkunci |
![]() |
---|
MSAKA21: Jejak Panjang yang Sunyi, Aceh Sebelum Hindu–Buddha- Bagian VI |
![]() |
---|
Kasus Pati, Sri Mulyani, dan “Kabeh Ka Pike”? |
![]() |
---|
Indonesia 80 Tahun: Di Ambang Kejayaan atau Terperosok ke Stagnasi? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.