KUPI BEUNGOH
Buku dan Membaca: Antara Cetak, Digital, dan Politik Jalan Tengah
Pembaca tidak perlu mengorbankan pengalaman membaca buku cetak demi efisiensi modern yang ditawarkan format digital, atau sebaliknya
Namun, sejauh ini, kehadiran buku digital tidak menghilangkan buku cetak, tetapi hanya mencapai taraf mengubah cara informasi dan pengetahuan dibuat, ditampilkan, dan disebarluaskan, yang tentu saja positif untuk mendorong demokratisasi pengetahuan.
Di Indonesia sendiri, berdasarkan survei GoodStats dari Januari s.d. Februari 2025, dengan 1.000 responden dari berbagai kota, 79 persen responden memilih buku cetak, sedangkan 18,5 persen memilih format digital.
Artinya, buku cetak tetap memiliki tempat istimewa di hati pembaca Indonesia.
Dari segi format, sebenarnya kita tidak perlu terlalu mempermasalahkan antara buku cetak dan digital, karena keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, yang sedianya bisa saling menutupi dan melengkapi.
Baca juga: Aceh Mandarin Camping 2025: USK dan Taiwan Bersatu Tingkatkan Literasi Global
Kekwatiran terbesar kita adalah pada budaya membaca itu sendiri. Bagaimana era digital, yang telah membuka akses luar biasa kepada pengetahuan, malah membuat kegiatan membaca—apalagi membaca mendalam, dan bacaan serius, semakin sedikit mendapat perhatian.
Meminjam ungkapan Ustaz Abdul Somad, “bukan orang bertato tapi shalat, melainkan orang tidak bertato tapi tidak shalat.”
Persoalan kita bukan pada cetak atau digital, melainkan pada budaya membaca kita yang makin hari makin makin tergerus.
*) PENULIS adalah Peminat Isu Literasi dan Pelaksana pada Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Banda Aceh
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.