Citizen Reporter
Mengelola Kehidupan Melalui Kematian: Studi Lapangan Manajemen Budaya di Londa, Toraja
Udara Toraja terasa berbeda sejak pertama kali kaki saya menapak di Rantepao, ibu kota Toraja Utara, Sulawesi Utara.
Bukan sekadar jabatan yang berakhir saat masa kerja habis, melainkan figur yang terus dikenang dan menjadi rujukan moral bagi generasi berikutnya.
Di dunia korporasi, kita sering bicara soal brand ambassador atau company values.
Namun di Toraja, nilai-nilai itu diwujudkan dalam bentuk fisik yang terus “berdiri” mengawasi masyarakat—bahkan setelah kematian.
Tongkonan: Kantor Pusat Budaya
Tak jauh dari Londa, berdiri rumah-rumah adat Tongkonan. Dalam masyarakat Toraja, tongkonan bukan hanya tempat tinggal, melainkan pusat kehidupan sosial, politik, dan spiritual.
Di sinilah keluarga besar berkumpul, mengambil keputusan, menyelesaikan konflik, dan mengatur upacara adat.
Setiap tongkonan memiliki silsilah yang jelas, dan setiap anggota keluarga paham perannya.
Baca juga: Harga Emas Amblas, Update Harga Emas Antam dan Rincian Harga Emas Hari Ini Per Gram
Dari sudut pandang organisasi, tongkonan adalah head office yang bekerja berdasarkan shared values.
Struktur memang ada, tetapi yang mengikat bukanlah peraturan tertulis—melainkan rasa hormat terhadap leluhur dan komitmen menjaga kehormatan keluarga.
Tanpa nilai yang kuat, struktur hanyalah rangka kosong. Tongkonan adalah bukti nyata bahwa nilai dan struktur dapat berjalan harmonis selama ratusan tahun.
Tantangan di Era Wisata
Londa kini menjadi salah satu destinasi wisata terkenal di Sulawesi Selatan. Turis datang dari berbagai negara, kamera menyorot tau-tau dan erong. Popularitas ini membawa dua sisi mata uang:
1. Dampak Positif
Ekonomi lokal bergerak.
Lapangan kerja baru muncul sebagai pemandu wisata, penjual suvenir, dan penyedia jasa transportasi.
2. Dampak Negatif
Pencurian tau-tau untuk dijual di pasar gelap.
Kerusakan pada kayu tua akibat sentuhan pengunjung.
Pergeseran makna budaya, dari ruang sakral menjadi sekadar latar foto Instagram.
Di sini saya melihat perlunya manajemen destinasi berbasis kearifan lokal.
Bukan hanya demi pemasukan, tetapi untuk memastikan Londa tetap menjadi “guru” budaya, bukan sekadar “obyek wisata” tanpa makna.
Pelajaran Manajemen dari Londa
Sebagai dosen manajemen, saya pulang dari Londa dengan catatan yang lebih dalam dari sekadar dokumentasi perjalanan. Saya menemukan lima pelajaran penting:
1. Struktur dan hierarki bisa lahir dari nilai, bukan sekadar aturan tertulis.
Di Toraja, siapa ditempatkan di mana di tebing bukan keputusan administratif, melainkan hasil kesepakatan nilai yang diwariskan.
2. Kepemimpinan adalah warisan yang dijaga, bukan jabatan yang habis masa.
Tau-tau adalah simbol bahwa pemimpin sejati terus “mengawasi” generasi berikutnya.
3. Organisasi yang berakar pada budaya memiliki daya tahan luar biasa.
Tradisi Toraja bertahan ratusan tahun meski dunia berubah cepat.
4. Manajemen aset tidak selalu berbicara tentang uang, tapi juga tentang warisan tak ternilai.
Erong dan tau-tau adalah aset budaya yang nilainya tak bisa diukur dengan rupiah.
5. Pengambilan keputusan kolektif adalah fondasi yang menjaga harmoni.
Tongkonan adalah ruang demokrasi berbasis kekerabatan.
Penutup: Mengelola Hidup, Menghormati Mati
Keluar dari gua Londa, cahaya sore terasa berbeda. Burung-burung beterbangan kembali ke sarang, langit mulai berwarna oranye keemasan.
Ada kesadaran baru yang tumbuh: bahwa mengelola hidup sama pentingnya dengan menghormati mati.
Tradisi Toraja mengajarkan bahwa manajemen sejati bukan hanya soal efisiensi atau laba, melainkan menjaga keseimbangan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Nilai, struktur, dan rasa hormat adalah tiga pilar yang membuat sebuah “organisasi” bernama masyarakat bisa bertahan ratusan tahun.
Dan pelajaran itu, saya bawa pulang bukan hanya untuk ruang kelas, tetapi untuk hidup.
Baca juga: Markas Besar Marsose di Tangse Dihuni Pasukan Khusus dan Kejam, Tim Unsam Ungkap Hasil Penelitian
Aplikasi 'Too Good To Go' Upaya Belgia Kurangi Limbah Makanan |
![]() |
---|
Kisah Sungai yang Jadi Nadi Kehidupan di Kuala Lumpur |
![]() |
---|
Saat Penulis Sastra Wanita 5 Negara Berhimpun di Melaka |
![]() |
---|
Saat Mahasiswi UIN Ar-Raniry Jadi Sukarelawan Literasi untuk Anak Singapura |
![]() |
---|
IKOeD Peusijuek Alumni Leting Intelegencia Generation 2025 di Pantai Lampu’uk |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.