Citizen Reporter
Mengelola Kehidupan Melalui Kematian: Studi Lapangan Manajemen Budaya di Londa, Toraja
Udara Toraja terasa berbeda sejak pertama kali kaki saya menapak di Rantepao, ibu kota Toraja Utara, Sulawesi Utara.
Menuju Londa hanya butuh waktu sekitar 15–20 menit dari pusat Rantepao. Jaraknya memang pendek, sekitar lima kilometer, namun setiap tikungan jalan seperti membawa kami mundur puluhan bahkan ratusan tahun.
Rumah-rumah adat Tongkonan berdiri anggun di tepi jalan, atapnya melengkung bak perahu terbalik, penuh ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning.
Tandukan kerbau yang tersusun rapi di tiang depan menjadi penanda prestise dan status keluarga.
Hamparan sawah hijau terbentang, diapit perbukitan yang seolah menjadi benteng alam.
Begitu tiba di Londa, pandangan langsung tertumbuk pada tebing batu kapur menjulang. Mulut gua tampak gelap, namun seperti memanggil.
Baca juga: VIDEO Polda Sulsel Tangkap Oknum Polisi yang Diduga Bekingi Peredaran Narkoba di Tana Toraja
Di atasnya, berjejer patung-patung kayu tau-tau, duduk atau berdiri, menatap jauh ke arah pengunjung.
“Mereka sedang melihat kita,” bisik seorang pemandu lokal dengan nada setengah serius, setengah mistis.
Mata tau-tau itu kosong, namun terasa menusuk. Ada yang berwajah teduh, ada yang tegas, ada pula yang seolah menyiratkan wibawa.
Rasanya seperti disambut sekaligus diukur: apakah niat kami datang ke sini tulus atau sekadar ingin berfoto.
Memasuki Londa: Sunyi yang Penuh Cerita
Begitu kaki melangkah masuk, udara berubah menjadi dingin dan lembap. Aroma kayu tua bercampur tanah dan batu basah memenuhi hidung.
Cahaya dari luar mulai meredup, digantikan sorot senter pemandu yang menyingkap satu demi satu susunan peti mati kayu erong.
Erong itu ditumpuk, digantung, bahkan diselipkan di celah batu. Ada yang masih utuh, ada pula yang lapuk dimakan usia.
Di beberapa tempat, tengkorak dan tulang manusia tampak terbuka—tidak sembarangan, melainkan diatur sesuai garis keturunan.
Baca juga: Viral! Video Serangan Paus Pembunuh Jessica Radcliffe Ternyata Cuma Hoaks? Cek Fakta Sebenarnya
Tidak ada rasa takut. Justru ada rasa hormat yang tebal. Setiap erong dan tau-tau seakan berbicara tanpa suara: tentang siapa mereka semasa hidup, tentang kehormatan yang masih dijaga, dan tentang keteraturan yang diwariskan lintas generasi.
Pemandu menjelaskan bahwa di sini, kematian bukanlah akhir. Mayat bisa disemayamkan di rumah selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun sebelum dimakamkan secara resmi.
Aplikasi 'Too Good To Go' Upaya Belgia Kurangi Limbah Makanan |
![]() |
---|
Kisah Sungai yang Jadi Nadi Kehidupan di Kuala Lumpur |
![]() |
---|
Saat Penulis Sastra Wanita 5 Negara Berhimpun di Melaka |
![]() |
---|
Saat Mahasiswi UIN Ar-Raniry Jadi Sukarelawan Literasi untuk Anak Singapura |
![]() |
---|
IKOeD Peusijuek Alumni Leting Intelegencia Generation 2025 di Pantai Lampu’uk |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.