KUPI BEUNGOH
Indonesia di Simpang Jalan Ke-80: Refleksi atas Ujian Kemerdekaan
Kemerdekaan yang diraih dengan darah dan nyawa seharusnya menjadi fondasi untuk membangun Indonesia yang adil, makmur, dan berdaulat
Rakyat masih memilih dalam pemilu, tetapi apakah suara mereka benar-benar menentukan arah negeri?
Saat penguasa lebih sibuk membangun dinasti politik daripada memperbaiki kualitas hidup rakyat, maka demokrasi kita kehilangan ruhnya.
Kebebasan berpendapat terancam oleh pasal-pasal karet, dan suara-suara kritis dibungkam atas nama stabilitas. Indonesia diuji: apakah kita masih bangsa merdeka jika rakyat takut bicara?
Indonesia bangga dengan pertumbuhan ekonomi, dengan gedung-gedung pencakar langit, dan pembangunan infrastruktur masif.
Namun di balik angka-angka makro yang mengilap, ketimpangan sosial tetap mencolok. Petani kehilangan lahan, nelayan kehilangan laut, buruh kehilangan harapan.
Baca juga: Permintaan Meningkat, Pedagang Bendera Merah Putih Rasakan Berkah Kemerdekaan
Generasi muda menghadapi realitas sulit: pendidikan mahal, lapangan kerja terbatas, dan biaya hidup melambung.
Di sisi lain, segelintir elit terus memperkaya diri, dan kekayaan nasional masih terkonsentrasi pada kelompok kecil.
Ini bukan sekadar masalah ekonomi, melainkan soal keadilan. Sebuah bangsa akan rapuh bila sebagian besar rakyatnya merasa ditinggalkan
Di usia 80 tahun, bangsa ini seharusnya berpikir jauh ke depan. Tapi kerusakan lingkungan terus terjadi: hutan ditebang, sungai tercemar, laut dipenuhi sampah, dan udara penuh racun.
Demi pertumbuhan ekonomi jangka pendek, kita mengorbankan masa depan anak cucu.
Bencana ekologis bukan lagi musibah alam, tapi akibat kebijakan yang tamak dan abai.
Kemerdekaan tidak ada artinya jika rakyatnya harus hidup di tengah bencana buatan manusia.
Indonesia sedang diuji: apakah kita bangsa yang bijak mengelola warisan alam, atau generasi yang menghancurkan tanah airnya sendiri?
Yang lebih mengkhawatirkan dari krisis ekonomi atau politik adalah krisis moral. Korupsi terus merajalela, bahkan di lembaga-lembaga penegak hukum.
Pemimpin dipilih bukan karena kapasitas, tapi karena popularitas. Banyak elite sibuk menjaga citra, bukan memperjuangkan nasib rakyat.
Renungan Buya Hamka untuk Dunia Kedokteran |
![]() |
---|
Urgensi Pendidikan Politik untuk Merawat Perdamaian Aceh Pasca Dua Puluh Tahun |
![]() |
---|
Aceh Damai, Perspektif Jurnalistik |
![]() |
---|
Kurikulum Pendidikan Islam Itu "Berbasis Cinta", Solusi Masalah Lokal & Jawaban Tantangan Global |
![]() |
---|
20 Tahun Damai Aceh, Mengenang Dokter Muhammad Jailani, Penebar Senyum Menyembuhkan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.