Ramai yang Tolak Soeharto Jadi Pahlawan Nasional, Disebut Terlibat Pelanggaran HAM Masa Lalu
Masuknya nama mantan Presiden Soeharto menjadi polemik dan menuai penolakan karena adanya dugaan pelanggaran HAM masa lalu.
"Usulan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional tidak miliki urgensi, sematan pahlawan tidak membuat jasa Soeharto bertambah, pun jika tanpa gelar sekalipun tidak membuat jasa Soeharto hilang, ia tetap bapak pembangunan nasional Indonesia," kata Dedi, Sabtu (3/5/2025).
Kemudian diungkapkannya wacana tersebut menandakan minimnya gagasan.
"Ide semacam ini usang, menandai minimnya gagasan kementerian sosial dalam rangka menyejahterakan masyarakat," terangnya.
Menurutnya, Kemensos seharusnya segera menyelesaikan persoalan sosial yang ada di tengah masyarakat.
"Isu kesejahteraan, konflik publik hingga pemerataan bantuan negara pada masyarakat yang lebih merata dan berdampak," paparnya.
5. Komnas HAM
Anis Hidayah, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang mempertanyakan wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Mantan Presiden RI Soeharto.
Dikutip dari Kompas.com, Anis menilai, wacana tersebut bertentangan dengan semangat reformasi dan nilai-nilai konstitusi.
Bahkan, Anis menyinggung soal kepantasan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto.
"Jadi, saya kira penting untuk dikembalikan pertanyaannya kepada kita semua. Apakah pantas? Saya bertanya kepada teman-teman yang hadir pada siang hari ini, apakah pantas seseorang yang kemudian mendorong kita semua untuk melahirkan reformasi kemudian akan diberikan gelar sebagai pahlawan?" tanya Anis, dalam sebuah diskusi publik yang digelar bertemakan "Soeharto, Pahlawan atau Penjahat HAM", Sabtu (24/5/2025).
Anis lantas mengingatkan kepada para peserta yang kebanyakan adalah aktivis reformasi 1998 tentang perjuangan reformasi.
Menurut dia, semua aktivis kala itu sepakat bahwa reformasi hadir karena ada pemimpin yang bertindak di luar dari tujuan konstitusi.
Pemimpin yang ia maksud adalah Presiden RI Ke-2, Soeharto.
Anis menyebut, Soeharto bahkan sudah membuat kerusakan dan menjauhkan masyarakat dari nilai keadilan sosial sebagaimana yang tertuang dalam Pancasila.
“Kenapa 27 tahun lalu bangsa kita melakukan reformasi? Saya kira sangat jelas gitu ya, bagaimana pemimpin yang diktator, yang melahirkan, yang keluar dari tujuan sebagaimana ada di dalam konstitusi kita, bangsa yang adil, bangsa yang sejahtera, bangsa yang bebas, merdeka, itu justru tidak diwujudkan," ucap Anis.
"Tetapi sebaliknya, (Soeharto) membangun kerusakan-kerusakan yang kemudian makin menjauhkan masyarakat kita dari keadilan sosial yang dimandatkan di dalam konstitusi dan Pancasila," tambah dia.
Ia menilai, pemberian gelar pahlawan tidak bisa dilepaskan dari makna mendasar tentang siapa yang layak disebut pahlawan.
Menurut dia, negara sudah memiliki definisi normatif melalui undang-undang mengenai gelar dan tanda kehormatan.
“(Pahlawan) Orang yang sudah berkontribusi untuk bangsa, berkarya nyata, memberikan kontribusi untuk kemajuan kesejahteraan bagi bangsa kita. Itu sudah sangat jelas. Jadi saya kira ketika gelar pahlawan akan diberikan kepada siapapun, pihak manapun yang mengusulkan, itu mesti kembali kepada hal yang paling prinsip dari makna pahlawan itu sendiri," kata dia.
Baca juga: Drien Rampak Aceh Barat Luncurkan Aplikasi Pelayanan Publik Berbasis Web "SIRAMPAK JOHAN PAHLAWAN"
6. KontraS
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menolak rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional untuk Presiden ke-2 Soeharto.
"Sosok Soeharto tidak layak menjadi Pahlawan Nasional lantaran rekam jejaknya dalam kejahatan HAM, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta gaya kepemimpinan otoriter selama 32 tahun menjabat," kata Kepala Divisi Impunitas KontraS, Jane Rosalina Rumpia, kepada Tribunnews.com, Senin (27/10/2025).
Jane menegaskan, gelar Pahlawan Nasional seharusnya adalah bentuk penghargaan tertinggi dari negara.
Ia menyebut, gelar itu seharusnya diberikan kepada individu yang telah berjasa dalam perjuangan kemerdekaan, menjaga keutuhan negara, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan moralitas publik.
"Selama masa Orde Baru, ia (Soeharto) menjalankan pemerintahan dengan pola kekuasaan yang otoriter dan represif yang berdampak luas terhadap kehidupan rakyat Indonesia," ujar Jane.
KontraS mencatat, sejumlah kebijakan dan operasi keamanan pada masa pemerintahan Soeharto mengakibatkan pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM).
Bentuk pelanggaran itu, antara lain, pembunuhan, penghilangan paksa, penyiksaan, kekerasan seksual, serta perampasan tanah dan diskriminasi sosial yang sistematis.
Menurut Jane, penyelidikan pro-yustisia Komnas HAM berdasarkan Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM menemukan sedikitnya sembilan peristiwa pelanggaran HAM berat terjadi pada masa kepemimpinan Soeharto.
Peristiwa itu antara lain: peristiwa 1965-1966, Penembakan Misterius (1982-1985), Tanjung Priok (1984), Talangsari (1989), Rumoh Geudong dan Pos Sattis (1989-1998).
Kemudian, Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998, peristiwa Trisakti (1998), Semanggi I (1998), dan Semanggi II (1999); Peristiwa Mei 1998; dan Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet (1998-1999).
Selain itu, kata Jane, pada masa Orde Baru juga terjadi berbagai pelanggaran HAM lain, seperti pembunuhan aktivis buruh Marsinah (1993), pembunuhan wartawan Fuad Muhammad Syafruddin atau Udin (1996), penembakan warga dalam pembangunan Waduk Nipah di Madura (1993), penyerangan kantor DPP PDI pada 27 Juli 1996, hingga pembantaian di Santa Cruz, Dili (1991).
KontraS juga menyoroti pembredelan media massa, penggusuran warga untuk pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (1971), pelarangan aktivitas organisasi mahasiswa melalui Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (1974–1975), serta pemberangusan organisasi kemasyarakatan lewat UU No. 5 Tahun 1985.
"Mengangkat Soeharto sebagai pahlawan nasional berarti juga menutup mata terhadap luka sejarah dan trauma kolektif yang belum pulih, khususnya bagi perempuan korban kekerasan negara," tegas Jane.
Terpisah, Ketua Dewan Nasional Setara Institute, Hendardi, menyinggung soal tanggung jawab hukum Soeharto dalam kasus korupsi.
Ia mengutip Putusan Mahkamah Agung No. 140 PK/Pdt/2005 yang menyatakan Yayasan Supersemar, yang dipimpin Soeharto, melakukan perbuatan melawan hukum dan diwajibkan membayar ganti rugi kepada pemerintah senilai total sekitar Rp 4,4 triliun.
"Pendek kata, menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional adalah tindakan yang salah dan melawan hukum negara," ucap Hendardi pada Senin.
7. Ganjar
Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP), Ganjar Pranowo, menilai Marsinah, aktivis buruh yang gugur saat memperjuangkan hak-hak pekerja, lebih layak dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.
Hal ini menanggapi rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto yang belakangan ramai diperbincangkan.
"Marsinah lebih memenuhi syarat," kata Ganjar kepada Tribunnews.com, Senin (27/10/2025).
Terkait usulan Soeharto jadi Pahlawan Nasional, Ganjar mengingatkan agar masyarakat tidak melupakan semangat dan agenda reformasi 1998 yang menandai berakhirnya kekuasaan Orde Baru.
"Semoga semua ingat agenda reformasi 1998," ujar mantan Gubernur Jawa Tengah (Jateng) itu.
Marsinah dikenal sebagai buruh pabrik arloji yang ditemukan tewas pada 8 Mei 1993 di hutan Wilangan, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.
Tubuhnya penuh luka dan tanda-tanda kekerasan, yang mengindikasikan ia disiksa sebelum dibunuh.
Kasus pembunuhan Marsinah hingga kini dikenang sebagai salah satu pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia pada masa pemerintahan Orde Baru.
MPR Tunggu Presiden
Ketua MPR RI, Ahmad Muzani mengatakan, rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional untuk Presiden ke-2 RI Soeharto menunggu Keputusan Presiden (Keppres).
 Ketua MPR RI, Ahmad Muzani membuka pelaksanaan World Muslim Scoud Jamboree 2025 di Bumi Perkemahan Cibubur, Jakarta Timur, Selasa (9/9/2025) malam. (dok. MPR RI)
"Ya kita tunggu keputusan presiden," kata Muzani di Bandung, Jawa Barat, Jumat (24/10/2025).
Menanggapi adanya penolakan dari sejumlah pihak, Muzani menjelaskan nama Soeharto telah dicabut dari Ketetapan MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
"Tetapi kalau dari sisi MPR kan pada periode lalu yang bersangkutan sudah dinyatakan clear," ujarnya.
Karena itu, mantan Sekretaris Jenderal Partai Gerindra ini menuturkan bahwa proses hukum dan politik terkait Soeharto telah dijalankan sesuai ketentuan yang berlaku.
"Dalam arti sudah menjalankan proses seperti yang ditetapkan dalam TAP MPR sehingga harusnya juga itu tidak menimbulkan problem lagi," ucap Muzani.
Adapun penghapusan nama Soeharto dari TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 disepakati dalam Sidang Paripurna Akhir Masa Jabatan MPR Periode 2019–2024 di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (25/9/2024).
Dalam dokumen resmi MPR, sejumlah dasar hukum disebutkan menjadi pertimbangan bahwa kasus KKN Soeharto telah dianggap selesai.
Salah satunya adalah surat ketetapan perintah penghentian penuntutan (SKP3) yang diterbitkan Kejaksaan Agung pada 2006.
Meski demikian, Kejagung tetap menggugat secara perdata sejumlah yayasan milik Soeharto, termasuk Yayasan Supersemar.
Pada 2015, Mahkamah Agung dalam putusan Peninjauan Kembali (PK) menyatakan Yayasan Supersemar melakukan perbuatan melawan hukum dan wajib membayar kerugian kepada negara.
Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo, sebelumnya menyatakan bahwa upaya hukum terhadap Soeharto secara pribadi telah berakhir.
"Dengan mempertimbangkan berbagai fakta hukum di atas maka kami bersepakat terkait dengan penyebutan nama mantan Presiden Soeharto dalam TAP MPR Nomor 11/MPR 1998, secara diri pribadi Bapak Haji Soeharto dinyatakan telah selesai dilaksanakan," kata Bamsoet, saat silaturahmi kebangsaan pimpinan MPR RI dengan keluarga Soeharto di Gedung Nusantara IV, Senayan, Jakarta, Sabtu (28/9/2024).
Karena itu, Bamsoet, sapaan akrab Bambang Soesatyo, menuturkan upaya hukum kepada Soeharto secara pribadi sudah selesai.
Apalagi, ketentuan pasal 77 KUHP juga menjelaskan tuntutan pidana dihapus jika tertuduh meninggal dunia.
"Jadi sudah dilaksanakan, dendam apalagi harus kita pertahankan. Kita adalah bukan bangsa pendendam," jelasnya.
Kementerian Sosial telah menyerahkan berkas 40 nama yang diusulkan untuk menjadi pahlawan nasional ke Menteri Kebudayaan (Menbud) sekaligus Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan tanda Kehormatan (GTK) Fadli Zon.
Beberapa nama yang tercantum dalam berkas tersebut antara lain adalah Presiden ke-2 RI Soeharto, Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur), serta tokoh buruh Marsinah.
Sejumlah nama lain yang juga diusulkan, adalah Syaikhona Muhammad Kholil, KH Bisri Syamsuri, KH Muhammad Yusuf Hasyim, Jenderal TNI (Purn) M Jusuf, dan Jenderal TNI (Purn) Ali Sadikin.
Baca juga: Benarkah Willie Salim Sudah Mualaf? Ustaz Derry Sulaiman Sebut Sudah Syahadat
Baca juga: Makanan Bergizi Itu Tak Harus Mahal
Baca juga: Nasib ASN Pemkab Sidoarjo Terlibat Pesta Gay, Diminta Mundur usai Gajinya Dihentikan
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com
| Tolak Soeharto Jadi Pahlawan Nasional, Ribka Tjiptaning: Hanya Bisa Membunuh Jutaan Rakyat Indonesia |   | 
|---|
| Farhan Syamsuddin Desak Pemerintah Serius Pulihkan Hak Korban HAM |   | 
|---|
| Soeharto, Gusdur hingga Marsinah Diusulkan Gelar Pahlawan Nasional, Keputusan di Tangan Presiden |   | 
|---|
| Satu Calon Pahlawan Nasional dari Aceh Diusul Kemensos ke GTK |   | 
|---|
| Prabowo Gelar Syukuran Ulang Tahun ke-74 di Istana Bareng Putranya Didit dan Istrinya Titiek |   | 
|---|


 
                 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
				
			 
											 
											 
											 
											 
											
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.