Pojok Humam Hamid
MSAKA21: Tiga Indra, Aceh Lhee Sagoe, dan “Soft Hegemonic Transition”
Sejarah Aceh, khususnya proses Islamisasinya, justru menawarkan kisah transisi yang halus dan cerdas--sebuah proses yang tidak menghapus masa lalu
Dalam sistem ini, Islam tidak sekadar menjadi ajaran agama, tapi juga struktur pengetahuan dan otoritas moral yang terintegrasi dalam masyarakat.
Hal ini juga menjelaskan kenapa simbol-simbol Hindu-Buddha tidak pernah benar-benar hilang dari Aceh.
Nama-nama seperti Indrapuri masih digunakan, dan situs-situs lama tetap dihormati, bahkan setelah menjadi bagian dari struktur Islam.
Dalam pandangan masyarakat, tidak ada pemutusan sejarah, yang ada adalah kesinambungan yang diberi makna baru.
Inilah kekuatan dari sebuah hegemonik yang lunak.
Ia tidak memaksa orang untuk melupakan masa lalu, tetapi justru memfasilitasi cara baru untuk memaknainya.
Melekat Dalam Identitas Lokal
Kekuatan hegemonik Islam di Aceh tidak hanya bersumber dari struktur politik atau institusi formal, tetapi dari kemampuannya untuk melekat dalam identitas lokal.
Ia menjadi bagian dari adat, dari bahasa, dari sistem nilai sehari-hari.
Islam menjadi bahasa kekuasaan baru yang menyatu dengan memori kolektif masyarakat.
Kesultanan Aceh Darussalam membentuk dirinya sebagai warisan spiritual dan politis dari kerajaan-kerajaan tua, bukan sebagai penggantinya.
Dengan itu, sultan menjadi bukan sekadar penguasa baru, tapi pewaris sah dari kekuasaan yang sebelumnya telah mendapatkan pengakuan sosial.
Apa yang terjadi di Aceh memiliki kemiripan dengan wilayah lain seperti Kesultanan Demak atau Kesultanan Melaka, di mana Islam juga mengambil pendekatan adaptif terhadap struktur budaya lokal.
Namun, yang membedakan Aceh adalah tingkat integrasi antara simbol pra-Islam dan Islam dalam sistem kekuasaan dan identitas masyarakatnya.
Aceh tidak sekadar menerima Islam; Aceh membentuk Islam yang kontekstual dan bercorak lokal, dengan menyerap masa lalu ke dalam jantung hegemonik baru.
Soft Hegemonic Transition
Kisah ini memperlihatkan bahwa sejarah tidak selalu berjalan melalui benturan keras.
Kadang, sejarah bekerja dengan cara yang halus, lambat, dan penuh kompromi.
“Soft hegemonic transition” bukan hanya sebuah konsep abstrak, melainkan kenyataan yang membentuk identitas suatu masyarakat.
Aceh adalah buktinya--di mana situs lama menjadi masjid, kerajaan lama menjadi mukim, dan warisan Hindu-Buddha menjadi bagian dari narasi Islam.
Dalam dunia yang kerap memaknai perubahan sebagai konflik, Aceh mengajarkan bahwa kekuasaan dan identitas bisa berganti tanpa harus saling meniadakan.
Dan itulah kekuatan sejati dari hegemonik yang lembut.
Aceh Lhee Sagoe, dalam konteks ini, bukan sekadar pembagian wilayah administratif, melainkan representasi dari proses hegemonik yang halus.
Kekuasaan Islam menyatu dengan identitas lokal, menjadikan tiga Sagoe bukan sebagai peninggalan, melainkan sebagai instrumen hegemoni baru yang tetap berakar pada legitimasi masa silam.
Ia adalah contoh konkret dari teori Gramsci yang hidup dalam sejarah, bahwa kemenangan ideologis yang sejati terjadi ketika yang lama tidak dilenyapkan, melainkan ditafsirkan ulang menjadi bagian dari yang baru.
*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.
Artikel dalam rubrik Pojok Humam Hamid ini menjadi tanggung jawab penulis.
Meaningful
pojok humam hamid
sejarah Aceh
sejarah aceh lhee sagoe
sejarah hindu di aceh
opini serambinews
humam hamid aceh
sejarah kerajaan aceh
Purbaya, Didik Rachbini, dan Rocky Gerung: Apa Beda Fiskal Tehnokratis dan Fiskal Omon-Omon? |
![]() |
---|
MSAKA21: Indrapurwa, Bayangan Kota Tua di Hutan Aceh - Bagian X |
![]() |
---|
Kontroversi Menggelegar Zohran Mamdani di New York: Saya Akan Tangkap PM Israel- Benyamin Netanyahu |
![]() |
---|
Revisi UUPA, TA Khalid, dan “Pepesan Kosong” |
![]() |
---|
MSAKA21: Indrapuri, Candi yang Menjadi Masjid - Bagian IX |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.