KUPI BEUNGOH

MQK Internasional: Kontestasi Kitab, Reproduksi Ulama, dan Jalan Peradaban Nusantara

MQK di Wajo menghadirkan wajah baru pesantren. Selama ini, pesantren sering dipandang hanya sebagai lembaga pendidikan tradisional.

Editor: Muhammad Hadi
FOR SERAMBINEWS.COM
Tgk. H. Faisal Ali (Abu Sibreh), Ketua PWNU Aceh dan Anggota Majelis Masyayikh 

MQK di Wajo menghadirkan wajah baru pesantren. Selama ini, pesantren sering dipandang hanya sebagai lembaga pendidikan tradisional. 

Namun MQK menegaskan bahwa pesantren memiliki peran strategis sebagai pusat produksi ulama, penyebar moderasi beragama, sekaligus laboratorium diplomasi budaya.

Bahwa ajang ini digelar di level internasional untuk pertama kalinya menunjukkan keyakinan bahwa santri Indonesia tidak kalah bersaing dengan santri dari negara lain. 

Santri tidak hanya mampu membaca teks, tetapi juga menafsirkan realitas, menghubungkan tradisi dengan modernitas, serta menyuarakan Islam yang ramah dan damai ke panggung global.

Baca juga: Aceh Besar Berhasil Pertahankan Juara Umum MQK Aceh, Ini Peringkat 10 Besar

Gus Dur pernah berujar, “Pesantren itu bukan hanya tempat belajar agama, tapi tempat menempa manusia agar mampu hidup di tengah masyarakat.” 

Ungkapan ini menemukan aktualisasinya dalam MQK. Pesantren bukan hanya mencetak ahli kitab, tetapi juga membentuk manusia yang berdaya, berbudaya, dan berperan di dunia.

Dari MQK, santri tampil sebagai diplomat kultural. Mereka mengirim pesan kepada dunia bahwa Islam Nusantara merupakan Islam yang inklusif, penuh adab, dan kaya dengan tradisi ilmiah. 

Bahwa Islam di Nusantara tidak eksklusif, tetapi terbuka, dinamis, dan siap berdialog dengan siapa saja.

Reproduksi Ulama: Urgensi yang Tak Bisa Ditunda

Urgensi terbesar MQK justru terletak pada fungsi reproduksi ulama. Dalam konteks keislaman, ulama bukan sekadar ilmuwan. 

Mereka merupakan penjaga moralitas, penafsir teks, sekaligus penggerak peradaban. Namun, reproduksi ulama yang otoritatif tidak bisa dibiarkan berjalan alami semata. Ia harus dirawat, dipelihara, dan difasilitasi.

Di sinilah MQK memainkan peran strategis. Lomba ini menjadi mekanisme seleksi dan akselerasi bagi santri-santri terbaik. Mereka yang unggul bukan hanya karena hafalan, tetapi juga karena kedalaman analisis, ketajaman berpikir, dan keluasan wawasan. 

MQK, dengan demikian, merupakan wadah untuk melahirkan ulama yang memiliki tiga kualitas utama: otoritatif dalam ilmu, moderat dalam pandangan, dan relevan dalam aksi sosial.

Baca juga: Ashabul Aziz, Santri Dayah Darul Ihsan Aceh Besar Raih Juara 1 di Ajang MQK Internasional 2025

Di tengah dunia yang semakin kompleks, tantangan keilmuan Islam juga kian beragam. Santri harus berhadapan dengan isu globalisasi, digitalisasi, pluralisme, hingga krisis moral. 

Tanpa ulama yang kuat, masyarakat bisa kehilangan arah. 

Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved