KUPI BEUNGOH
MQK Internasional: Kontestasi Kitab, Reproduksi Ulama, dan Jalan Peradaban Nusantara
MQK di Wajo menghadirkan wajah baru pesantren. Selama ini, pesantren sering dipandang hanya sebagai lembaga pendidikan tradisional.
MQK hadir sebagai jawaban: bahwa pesantren siap melahirkan generasi ulama baru yang tidak hanya menguasai kitab, tetapi juga memahami zaman.
Ada dimensi lain yang tidak kalah penting: diplomasi kultural. Kehadiran santri dari 10 negara dalam MQK pertama ini merupakan isyarat bahwa kitab kuning bukan hanya milik Indonesia. Ia merupakan warisan bersama Asia Tenggara, bahkan dunia Islam.
Dalam diplomasi formal, negara berbicara melalui bahasa politik. Namun dalam diplomasi kultural, pesantren berbicara melalui bahasa kitab kuning.
Dari teks-teks klasik itu, lahir wacana tentang perdamaian, keadilan, dan kemanusiaan yang menjadi ciri Islam rahmatan lil ‘alamin.
Dengan demikian, MQK tidak hanya berfungsi sebagai kontestasi keilmuan, tetapi juga arena memperkuat ukhuwah Islamiyah lintas batas negara.
Ia merupakan ruang di mana santri menjadi duta budaya, mengirimkan pesan bahwa Islam Nusantara merupakan wajah Islam yang damai, teduh, dan inklusif.
Salah satu kritik terhadap pesantren merupakan tudingan bahwa kitab kuning semakin sulit relevan dengan zaman modern.
Baca juga: Delapan Santri Wakili Bireuen MQK Tingkat Nasional, Ini Namanya
Namun MQK membantah itu. Justru dengan MQK, kitab kuning terbukti menjadi sumber daya intelektual yang hidup, yang mampu menjawab persoalan kontemporer dengan bahasa klasik yang abadi.
Santri yang tampil di MQK menunjukkan bahwa kitab kuning bisa dibaca dalam konteks kekinian. Tafsir fiqh, misalnya, bisa dikontekstualkan dengan problematika hukum modern.
Tasawuf bisa dijadikan jawaban atas krisis spiritual di era digital. Balaghah dan nahwu bisa menjadi basis retorika dakwah yang efektif di media sosial.
Tentunya dengan kata lain, MQK memastikan bahwa kitab kuning tetap menjadi “energi peradaban”. Ia bukan fosil, melainkan mata air yang terus mengalir.
MQK: Dari Pesantren ke Panggung Dunia
MQK Internasional pertama di Wajo merupakan momentum sejarah yang tidak boleh diabaikan.
Ia merupakan cermin kesinambungan tradisi ulama, laboratorium reproduksi ulama, sekaligus wahana diplomasi kultural.
Santri-santri yang tampil di sana bukan hanya peserta lomba, tetapi calon pemimpin intelektual yang akan membawa Islam Nusantara ke panggung global.
Gus Dur pernah mengatakan, “Kita tidak kehilangan Tuhan, tapi kita sering kehilangan kemanusiaan.”


 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
												      	 
												      	 
												      	 
												      	 
												      	 
				
			 
											 
											 
											 
											 
											
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.