KUPI BEUNGOH
MBG “Mimpi Buruk” Membangun Generasi Cerdas
Kerentanan gizi anak Indonesai di hampir seluruh wilayah menyebabkan kerawanan gizi, stunting dan kerentanan kesehatan
Faktor ekonomi keluarga yang rendah menjadi pemicu utama, sering kali memaksa anak untuk bekerja demi membantu ekonomi keluarga atau tidak mampu membiayai kebutuhan sekolah selain SPP, seperti transfortasi, seragam dan buku.
Akses fisik juga menjadi topik penting, jarak ke sekolah sangat jauh, kurangnya fasilitas dan keamanan bagi anak menjadi kendala, terutama bagi daerah terpencil.
Data statistik tahun 2024, tercatat angka putus sekolah di Indonesia mencapai 38.540 siswa (0,16 persen) di jenjang SD, 12.210 siswa (0,12 % ) di SMP, 6.716 siswa (0,13 % ) di SMA, dan 9.391 siswa (0,19 % ) di SMK.
Menurut data Pusdatin Kemendikdasmen. Secara total SMK memiliki persentase tertinggi (0,19 % ) karena jumlah siswa yang lebih sedikit dibandingkan SD yang jumlah nya lebih tinggi.
Data Kementrian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), jumlah anak tidak sekolah di Indonesa mencapai lebih dari 3,9 juta jiwa.
Angka ini mencakup berbagai katagori, seperti anak putus sekolah, lulus tanpa melanjutkan , dan belum pernah sekolah.
Provonsi terbanyak jumlah anak putus sekolah adalah Jawa Barat, yaitu 616.080 anak, diikuti Jawa Tengah dengan 333.152 anak.
Baca juga: Terpapar Demam dan Flu, Puluhan Siswa SMAN 2 Patra Nusa Manyak Payed Dipulangkan
Faktor penyebab putus sekolah adalah: Faktor ekonomi keluarga, mencari nafkah atau bekerja, menikah atau mengurus rumah tangga, disabilitas dan tidak adanya dukungan yang memadai, kecanduan game dan kekerasan, akses pendidikan yang sulit atau jarak tempuh sekolah yang sangat jauh.
Pemerintah sebagai pihak paling bertanggung jawab dalam mengawasi dan memberi perlindungan hukum terhadap kerentanan ini, wajib memberikan perlindungan dan pengwasan difensif sejati.
Bukankan UUD 1945 dalam pasal 34 diatur dengan jelas, bahwa “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Bunyi pasal 34 UUD 45 tersebut cukup jelas, setidaknya bukan hanya sebatas regulasi atau aturan yang “teronggok” tanpa ada kepastian.
Pasal 34 UUD 1945 berisi tentang tanggung jawab negara untuk memelihara fakir miskin dan anak terlantar, serta menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan, pendidikan dan pelayanan umum yang layak bagi warga negara.
Pasal 34 ini menggaris kan tentang dasar kesejahteraan sosial sebagai landasan konstitusional bagi negara dalam mewujudkan kehidupan Masyarakat yang Sejahtera dan bermartabat.
Peran negara menjadi hal wajib untuk memastikan kebutuhan dasar bagi warga negara terpenuhi, khususnya bagi kelompok rentan, pendidikan.
Amanat konstitusi harus dijalankan terutama program perlindungan sosial oleh pemerintah sebagai bentuk pelaksanaan pasal 34 UUD 1945.
Baca juga: Manusia, Predator Tanpa Taring
Anak-anak Indonesia tidak berharap hidup dalam mimpi buruk, mereka aset negara yang harus diselamatkan.
| Meretas Makna di Balik Gelar Pendidikan Tinggi dalam Dinamika Profesi dan Pergulatan Makna Hidup |
|
|---|
| Perubahan Wajah Epidemi HIV di Aceh, dari Isu Medis ke Krisis Sosial Remaja |
|
|---|
| Perlindungan Anak vs Pendidikan Moral: Saat Regulasi Menyimpang dari Amanat Konstitusi |
|
|---|
| Saat Buku Fisik Mulai Tersisih oleh Layar |
|
|---|
| Ketika Perpustakaan Kehilangan Suaranya di Tengah Bisingnya Dunia Digital |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.