Polemik Pilkada, Wasekjen Partai Aceh Singgung Sikap Elite Jakarta dan Peran Anggota DPR dari Aceh
Kalaupun ada 13 perwakilan DPR-RI dari Aceh di pusat, tapi menurut Nurzahro, mereka lebih banyak diam karena takut dianggap tidak nasionalis.
Polemik Pilkada, Wasekjen Partai Aceh Singgung Sikap Elite Jakarta dan Peran Anggota DPR dari Aceh
Laporan Yocerizal | Banda Aceh
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Dewan Pimpinan Aceh Partai Aceh (DPW PA), Nurzahri, menegaskan bahwa Pilkada Aceh adalah bagian dari kekhususan Aceh.
Polemik yang saat ini terjadi terkait dengan jadwal pelaksaan Pilkada Aceh, ia sebutkan, terjadi karena tiga hal.
Yaitu karena pengaruh politik pemilihan presiden (Pilpres) 2024, malasnya elite pusat membaca Undang Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), dan diamnya Anggota DPR RI dari Aceh.
"Pilkada Aceh adalah bagian dari kekhususan Aceh yang diatur secara detail dalam UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA)," kata Nurzahri kepada Serambinews.com, Sabtu (6/2/2021).
Hal ini, ujarnya, terlihat jelas di dalam pasal per pasal yang terdapat di dalam UUPA, yang membedakan pilkada Aceh dengan nasional.
Menurut mantan anggota DPRA ini, itu juga yang menjadi penyebab mengapa undang undang yang berkaitan dengan pemilu dan pilkada selalu menyertakan pasal peralihan.
• Pilkada 2022 Wajib. Syekh Fadhil: Meunyoe Han, Hana Yum Geutanyoe Bak Jakarta Nyan
• Demokrat: Revisi UU Pemilu Jangan Ganggu Partai Lokal
• Pilkada Aceh Bisa Bergeser ke 2023
Dimana pasal peralihan itu pada prinsipnya mengingatkan bahwa UU tentang pilkada secara umum hanya berlaku untuk hal-hal yang tidak diatur di dalam UUPA.
"Dengan kata lain, apabila telah diatur dalam UU 11/2006 (UUPA), maka UU 11/2006-lah yang akan menjadi hukum peraturannya," tegas Nurzahri.
Politisi PA ini mengatakan, perbedaan-perbedaan tersebut bukan hanya masalah penyelenggaran pilkada.
Sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi terhadap UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Penyelenggara Pemilu Aceh dengan Nomor Putusan 61/PUU-XV/2017, 66/PUU-XV/2017 dan 75/PUI-XV/2017.
Tetapi juga memuat peraturan-peraturan yang berbeda seperti uji baca Alquran, tetapi juga jumlah dukungan calon independen yg berbasis jumlah penduduk (dalam uu 10/2016 berbasis jumlah pemilih).
Selain itu, juga memuat parlementerial treshold untuk dukungan pasangan calon, electoral treshold partai peserta pemilu, dan beberapa pengaturan lain yang berbeda dengan pengaturan dalam UU pemilu dan pilkada nasional.
• DPRA tak Respons Polemik RUU Pemilu
• Pilkada Aceh 2022 atau 2024 ? Begini Pendapat Haji Uma
• Pilkada Aceh; Spirit Oke, Dana Jadi Soal
"Bahkan terkait masa penyelenggaraan pilkada-pun, diatur tegas dalam pasal 56 UU 11/2006 yg mengatakan Gub/bupati/wali kota dipilih dalam 5 tahun sekali," pungkas Nurzahri.
Lalu kenapa hari ini pelaksanaan Pilkada Aceh menjadi polemik? Menurut Nurzahri, jawabannya ada dua.
Pertama, isu pembahasan UU Nomor 10/2016 lebih dilatarbelakangi politik Pilpres 2024 dan Pillgub DKI 2022, sehingga semua kebijakan partai diambil dengan mempertimbangkan dua hal ini.
Kedua, para pemangku kebijakan nasional baik dari pemerintah maupun eksekutif di dominasi oleh orang-orang non-Aceh yang tentunya malas membaca UUPA.
"Mereka malas membaca UUPA karena tidak terlalu berkepentingan dengan undang undang tersebut," imbuhnya.
Kalaupun ada 13 perwakilan DPR-RI dari Aceh di pusat, tapi menurut Nurzahro, mereka lebih banyak diam karena takut dianggap tidak nasionalis.
• Nikah dengan Pujaan Hati, Wanita Ini Dipaksa Layani 2 Saudara Suami: Saat Melawan, Aku akan Dibakar
• CPNS 2021 Segera Dibuka, Ini Alur dan Syarat Pendaftaran CPNS 2021
• Viral Suami Istri Meninggal Selisih 2 Jam Setengah, Pernah Bangun Dua Masjid dan Pesantren
"Mereka takut diangap tidak nasionalis, karena UUPA lahir sebagai akibat adanya perjanjian damai Helsiki yang mengakhiri perang berkepanjangan antara Indonesia versus Aceh," pungkas Wasekjen PA ini.
Hana Yum Geutanyoe bak Jakarta
Sebelumnya, Senator DPD RI asal Aceh, HM Fadhil Rahmi Lc, berharap elite Aceh menyatukan sikap terkait pelaksanaan Pilkada Aceh di 2022.
"Terlepas perbedaan partai politik, sebagai orang Aceh kita mesti bersatu untuk menjaga kekhususan Aceh,” ujarnya.
Syekh Fadhil menegaskan, kekhususan Aceh yang diatur di dalam Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 atau Undang Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) perlu dijaga sama-sama.
“Meuhan, kakeuh gadeh saboh-saboh, " pungkas senator muda asal Aceh ini.
Syekh Fadhil menegaskan, bagi dirinya pribadi, apapun dampak dan hasilnya, perjuangan Pilkada Aceh tahun 2022 adalah wajib.
• Lagi, Sapi Warga Julok Rayeuk Selatan Dimangsa Harimau
• Janda dan Imam Kampung Sepakat Dinikahkan Dengan Mahar Rp 200 Ribu
• CPNS 2021 - Status PNS Formasi Guru di CPNS 2021 Diganti PPPK, Berapa Besaran Gajinya?
“Meunyoe hana, hana yum geutanyoe bak Jakarta nyan," tegasnya lagi.
Namun dia mengingatkan, dalam memperjuangkan hal itu, yang paling penting adalah mengubah pola komunikasi Aceh dengan pihak pusat di Jakarta.
Menurut dia, komunikasi yang bersifat keras, ancam mengancam dan tak percaya, itu harus dihilangkan. Kuatkan pendekatan argumentatif, persuasif dan bangun kepercayaan.
"Kalau para elite di Aceh sudah seiya sekata. Ada kami juga di DPD dan DPR RI asal Aceh di Jakarta."
"Kita bisa sama-sama melogikakan hal ini pada elite di Jakarta," kata senator yang dikenal dekat dengan kalangan dayah ini."
“Apa yang diyakini oleh DPRA sudah benar. Mungkin yang perlu diubah hanya pola komunikasi, beu leubeh soft nah," imbuhnya.(*)
• Berduaan di Mobil, Imam Kampung di Aceh Tamiang Dinikahkan dengan Janda Empat Anak
• Lima Terduga Teroris di Aceh Jadi Tersangka, Ditahan di Polda Aceh
• Tidak Ada Itikad Baik, Ibu Profesor yang Putar Balik Sembarangan Akhirnya Dipolisikan oleh Perekam
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/aceh/foto/bank/originals/nurzahri-wasekjen-partai-aceh.jpg)