Kupi Beungoh
Aceh dan Kepemimpinan Militer (XIII) Van Heustz: Doktrin Perang dan “De Slager van Atjeh”
Capaian militer dan kecakapan mengurus ekonomi tanah jajahan dengan kasus Aceh, membuat karir Van Heutsz melonjak
Oleh: Ahmad Humam Hamid*)
Dalam sejarah penjajahan Belanda, Jenderal Johannes Benedictus van Heutsz, dikenal dengan Van Heutsz adalah salah seorang yang dianggap hebat dan sangat berjasa.
Tidak hanya dalam membuat Belanda lebih efektif mengurus perang dan pemberontakan tanah jajahan, akan tetapi juga kontribusinya dalam memperbanyak pundi-pundi kerajaan.
Ia adalah ahli strategi kontra gerilya mumpuni, petempur tangguh, dan pelaksana ampuh kebijakan liberalisasi ekonomi untuk tanah jajahan.
Capaian militer dan kecakapan mengurus ekonomi tanah jajahan dengan kasus Aceh, membuat karirnya melonjak, menjadi salah seorang dari tiga Gubernur Jenderal Hindia Belanda terhebat dan diakui dalam sejarah.
Hanya sedikit Jenderal Belanda yang dikenang dan dihormati kehebatannya, dan umumnya diwujudkan dalam bentuk monumen dan nama jalan.
Salah satunya adalah Van Heutsz yang mendapat kehormatan itu baik di Jakarta-Batavia, maupun di negerinya, Amsterdam, di Belanda.
Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (I) - Dari Klasik Hingga Kontemporer
Di Jakarta, monumen Van Heutsz didirikan setelah kematiannya di Taman Gondangdia , di kawasan Menteng yang terkait langsung dengan nama jalan Van Heutsz Boulevaard (Jalan Raya Van Heutsz).
Lokasi monumennya tepat berada dilokasi Mesjid Cut Mutia hari ini. Pada 1953 banyak pemuda pejuang yang marah mendemo monumen itu.
Bangunan bersejarah Belanda itu akhirnya dirubuhkan yang akhirnya diganti dengan mesjid yang dinisbahkan namanya dengan salah satu simbol perlawanan Aceh melawan Belanda Cut Mutia yang tewas pada 1910.
Tidak cukup dengan nama mesjid, pemerintah juga mengganti nama Van Heutsz Boulevaard menjadi jalan Teuku Umar.
Alasan kemarahan pemuda pejuang itu bukan tak berdasar.
Van Heutsz adalah pembunuh kejam dalam perang Aceh yang menelan puluhan ribu jiwa.
Jika saja pejuang yang mati mungkin kemarahan itu tidak meledak.
Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (II) - Ali Mughayatsyah dan Efek Pygmalion
Akan tetapi kebijakan perangnya menelan korban rakyat biasa, jauh lebih besar dari mereka yang berperang.
Tidak cukup dengan penduduk lelaki dan perempuan dewasa, perang Van Heutsz juga menghabiskan anak-anak yang tak berdosa.
Kemarahan kepada Van Heutsz tidak hanya terjadi di Indonesia.
Di negerinya, Belanda, ia juga menjadi pahlawan yang kontroversial.
Semenjak dimulainya pembangunan monumen penghormatan untuknya di kawasan Amsterdam Selatan, telah terjadi protes yang luar biasa.
Peresmiannya oleh Ratu Wilhelmina pada tahun 1935 sama sekali tidak menyurutkan kemarahan publik, terutama dari kelompok kiri di Belanda.
Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (III) - Ali Mughayatsyah dan Detente 235 tahun
Monumen yang tingginya 18,7 meter yang dibangun dengan uang kumpulan dari para marsouse dan KNIL yang pernah berinetraksi dengannya.
Monumen itu berbentuk patung perempuan, memegang lembaran hukum, dan sejumlah relief.
Kebencian sebagian publik Belanda menyebabkan dilakukannya sejumlah tindakan vandalisme, pengurusakan, peledakan, dan carat coret- yang pesannya mengandung nada protes yang cukup kental.
Pada tahun 2004, nama monumen itu dirubah menjadi monumen Monument Indië-Nederland, 1596-1949 (monumen Indonesia Belannda 1596-1949).
Sampai dengan tahun 2011, paling kurang telah terjadi antara 5-6 kali vandalisme, walaupun namanya telah diubah namanya menjad monumen persahabatan Belanda dan Indonesia.
Mereka yang marah kepada Van Heutsz di Belanda, memberi gelar kepadanya “de sluger van Atjeh” (pembantai Aceh, tepatnya pembantai rakyat Aceh).
Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (IV) - Alaiddin Riayat Syah, Sang Penakluk dan Armadanya
Kenapa tidak, sekalipun pasca menyerahnya Sultan Mohammad Daud (raja Aceh terakhir), pada tahun 1903, jumlah korban perang Aceh semenjak ia menjadi penguasa Aceh cukup banyak.
Seperti ditulis oleh Van’t Veer (1973),k orban perang Aceh selama Van Heutsz berkuasa (1899-1903) gubernur Jenderal Hindia Belanda (1904-1909) mencapai 21.865 orang, dengan kematian di pihak Belanda 508 serdadu.
Ini adalah jumlah yang cukup besar, bahkan hampir setengah dari jumlah kematian pada perang besar awal dan berbagai ekpedisi lanjutannya sebelum tahun 1900.
Van’t Veer bahkan menyebutkan sepuluh tahun van Heutsz memerintah Aceh dan Hindia Belanda sebagai masa sepuluh tahun Aceh berdarah.
Van Heutsz tidak asing dengan Aceh,karena ia terlibat dalam eskpedisi penyerangan Belanda ke Aceh sebagai bawahan biasa pada tahun 1873.
Karier militernya mananjak cepat, karena ia memang prajurit profesional yang menjalani pendidikan sekolah militer terkenal di Breda.
Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (V) - Alaiddin Riayat Syah, Sulaiman Agung, dan Laksamana Kortuglu
Dalam tempo empat belas tahun perang Aceh ia telah mengalami pengalaman yang cukup banyak.
Pada tahun 1887, ia diangkat menjadi kepala staf tentara Belanda di Aceh.
Ketika ia menjadi Gubernur Militer Aceh, atas anjuran Jaksa Mohammad Syarif asal Minangkabau, bersama dengan Snouck Hurgroje ia membentuk pasukan komando elit Korps Marechaussee, yang kemudian dikenal dengan nama marsose.
Ini adalah pasukan dengan unit kecil, mempunyai mobilitas tinggi, senjata canggih pada masanya, dan menempatkan “imajinasi mentalnya” seperti lawan yang mereka hadapi-pejuang Aceh.
Berbeda dari strategi perang sebelumnya yang bersifat pasif, strategi yang lebih menekankan pada benteng dan lini konsentrasi daerah yang dikuasai pasukan, komando marsose dilatih untuk mencari dan mengejar lawan.
Itu artinya mereka harus siap dengan berbagai konsekwensi yang harus dihadapi.
Disamping bangsa Belanda, serdadu marsose umumnya adalah tentara bayaran dari berbagai bangsa seperti Perancis, Swiss, Belgia, dan Afrika, berikut dengan pribumi Hindia Belanda- Ambon, Manado, Jawa, Sunda, Bali, Bugis.
Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (VI) - Sultan Al Mukammil, "Repertoar Raja Boneka”
Ditemui juga juga ada beberapa orang Nias dan Timor.
Walaupun sukar untuk menggolongkan Van Heutsz sebagai manusia akademik, ia adalah seorang jenderal pemikir.
Ia sering menulis opini di media tentang apa yang dijalaninya, terutama observasi tentang perang Aceh.
Ia jemu melihat perang panjang yang tak pernah selesai.
Ia mempunyai banyak kesamaan cara berpikir dengan Anthropolog Snouck Hurgronje tentang cara menangani Aceh, walaupun pada beberapa bagian, terutama pada bagian akhir karir Van Heutsz, mereka berbeda.
Garis besar strategi perang Aceh yang dirancang Van Heutsz bersama dengan Snock Hurgronje berlandaskan pada satu prinsip.
Penaklukan Aceh hanya dapat dicapai dengan sebuah demonstrasi kekuasaan yang mampu memaksakan penghormatan kepada Belanda, kapanpun, dimanapun, dan dalam keadaan bagaimanapun.
Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (VII) Al Mukammil: Hard Power dan Shock Therapy
Siapa yang mampu menggunakan tangan besi, dialah yang akan menaklukkan Aceh sepenuhnya, dan akan membuat rakyat Aceh yang cinta damai akan bertekuk lutut.
Ketika ia menjadi gubernur Jendral pada tahun 1904 ia mengangkat Van Dallen untuk menyelesaikan daerah yang “tertinggal” kawasan Gayo.
Kawasan itu selalu menjadi tempat persembunyian para pejuang “muslimin”, pemasok makanan perang ke pesişir, dan juga penyerang mendadak yang tak disangka oleh Belanda.
Ekspedisi itu memang tidak biasa, baik karena rute yang ditempuh, maupun prinsip dan metode yang dilakukan.
Masyarakat Gayo, terutama di kawasan Gayo Lues mempertahankan kampungnya dengan benteng sederhana, bersenjata tak sebanding dengan marsodes dan infantri Van Daalen.
Senjata rakyat yang paling utama adalah sebuah “keyakinan mati syahid” yang dilambangkan dengan pakaian putih.
Van Daalen memang menerapkan doktrin Van Heutsz. Pasukannya dengan mudah menyerang kampung Gayo dengan alat perang canggih.
Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (VIII) - Al Mukammil: Soft Power dan Dansa Diplomasi
Seisi kampung, mulai dari pejuang, masyarakat biasa, laki-laki , perempuan, dan anak-anak dihabisi tanpa ampun.
Salah satu aksi yang paling terkenal adalah penyerangan benteng Kuta Reh dengan foto yang sangat terkenal, dimana semua warga tewas, kecali satu anak kecil.
Tidak kurang dari 313 pria, 189 wanita, dan 59 anak-anak tewas.
Menurut catatan Van Daalen memerangi tidak kurang dari 10 benteng di Gayo dan Alas dengan korban mencapai 2.956 orang dengan sebaran 1.828 pria, 800 wanita dan 352 anak-anak.
Ketika van Heutz pada 1905 mengangkat Van Daalen sebagai Gubernur Militer Aceh, gelombang protes dan kritik dari parlemen dan media Belanda datang secara bertubi-tubi.
Van Heutsz bergeming, bahkan ia berbohong kepada ratu Wilhelmina tentang tuduhan Van Daalen membunuh wanita dan anak-anak.
Ia mungkin sadar bahwa Van Daalen hanya melaksankanakan doktrin perang yang dicetuskannya, walaupun ketika itu ia mulia berobah.
Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (IX) - Iskandar Muda: Angkatan Perang, “Mercineries”, dan “Raja Toke”
Akhirnya ia mengorbankan Van Daalen dipecat, yang salah satu sebabnya juga berkaitan dengan peniaian resminya sebagai Gubernur Jenderal ,sekaligus pemeriksa lapangan kebijakan Van Daalen sebagai Gubernur Militer Aceh.
Kesimpulan Van Heutsz dalam evaluasi itu, Daalen gagal, dan ia kemudian diberhentikan dari jabatan Gubernur Militer Aceh pada 24 Desember 1907.
Istilah jagal Aceh “de sluger van Atjeh” di Belanda untuk Van Heustz tidak hanya berkaitan dengan pembantaian masyarakat Gayo oleh Van Daalen, ketika ia menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Kebrutalan Van Heustz sudah dimulai jauh sebelum ia menjadi Gubernur Militer Aceh, terutama ketika Belanda melakukan operasi pembersihan dan penghukuman Aceh besar.
Van Heutsz yang memimpin Tim operasi itu pada 1896 menetapkan salah satu target operasi itu adalah rumah Teuku Umar di Mukim VI, di Lampisang.
Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (X) - Iskandar Muda: “Imitatio Alexandri”
Tidak kurang dari enam belas hari dan malam non stop dilakukan bombardir dengan menggunakan dua belas meriam dan delapan mortir.
Ditemukan rumah Umar kosong, karena penghufninya telah menghilang,rumah itu kemudian diledakkan dengan dinamit, kemudian dibakar.
Praktis seluruh kampung di kawasan Mukim IV dan yang berdekatan dengannya dibumi hanguskan
Kampung Lam Asan yang juga bagian dari kawasan itu mendapat perlakuan khusus diperintahkan untuk dilumatkan.
Dengan mendapat pengawalan dari sepuluh kompi infantri dan dua kompi zeni, delapan ratus pekerja paksa, empat ratus kuli Cina, selama empat hari dari 30 Mei hingga 1 Juni, bumi hangus sistematis dilakukan.
Semua rumah dibakar, pohon ditebang, kuburan digali. Lam Asan pada 4 Juni 1896 telah berubah menjadi sekeping tanah gundul hangus yang tak berbekas apapun.
Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (XI) Benarkah “Masa Emas Aceh” Iskandar Muda Sekedar Mitos?
Setelah itu di Aceh Besar praktis tak ada perlawanan, nyaris sunyi untuk berberapa waktu.
Ketika ia menjadi Gubernur Militer Aceh, ia memimpin sebuah ekpsedisi khusus, yang sangat dikenal dengan ekspedisi Pidie pada tahun 1898.
Ini adalah sebuah ekpedisi dimana Van Heustz menerapkan dengan penuh prinsip dan doktrin militer, yang dalam kepustakaan milter dikenal dengan perang anti gerilya.
Sekalipun ia membawa 7500 paskan, namun dalam melakukan operasi, ia benar-benar menerapkan strategi cari, buru, serang.
Ia mengerahkan unit pasukan kecil yang mempunyai kemampuan tempur dan survival yang canggih dan mobiitas yang cepat.
Bahan makanan hanya diberikan untuk lima hari kepada setiap orang, selebihnya dicari sendiri oleh anggota pasukan.
Hal ini sangat berbeda dengan praktek sebelumnya yang membawa pasukan besar, alat tempur yang cukup banyak, dan manusia pengangkut logistik perang yang jumkahnya massal.
Tidak ada penjelasan lengkap tentang hampir tak ada Perlawanan di Pidie, kecuali banyak pejuang telah menghindar dari ekspedisi itu, termasuk Teuku Umar yang berkeliaran di kawasan Tangse.
Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (XII) Benarkah Iskandar Muda Raja Liberal ?
Banyak hulubalang, dan bahkan Sultan Aceh, Mohammad Daud yang bersembunyi. Hal itu tak lama, karena penciuman intelijen pasukan Van Heutsz akhirnya mendapatkan informasi tentang persembunyian.
Operasi pengepungan dilakukan pada malam hari, dan praktis semua hulubalang Pidie tertangkap, dan akhirnya terpaksa setuju untuk bekerjasama dan menjadi bagian dari Pax Netherlandica.
Ini adalah capaian terbesar dari Van Heustz dan membuat Kerajaan Belanda menanugerahkannya bintang jasa Commandeur- skruis MWO dan kenaikan pangkat menjadi Mayor Jenderal.
Capaian itu tidak berhenti disitu. Pada tahun 1899 ia sendiri memimpin operasi pengejaran Teuku Umar ke Meulaboh.
Pejuang yang cukup lama dicari itu akhirnya berhasil ditewaskan oleh unit kecil pasukan Van Heustz dengan penghadangan dan jebakan tak disangka pada malam hari.
Keberhasilan itu tidak lepas dari perhitungan cermat dan “instink militer” dirinya yang membuat sebuah keputusan tak biasa, menempatkan pasukan pengintai di sebuah tempat strategis jalan masuk ke Meulaboh, yang ia yakini akan dilewati Teuku Umar dan pasukannya.
Keberhasilan itu kemudian bertambah dengan tertangkapnya Cut Nyak Dhien pada tahun terakhir van Heustz di Aceh, 1905, masa ia menjadi Gubenur Jnederal Hindia Belanda.
Salah Satu capaian monumental Van Heustz lainnya adalah penaklukan benteng Batee Iliek. Ini adalah utang besar Belanda yang belum terlunasi.
Pendahulu Van Heustz, Jenderal Van Der Heyden gagal menaklukkan Batee Iliek pada 1880, dan satu matanya rusak tertembak pejuang Samalanga- ia kemudian dikenal di Aceh dengan “jendral mata siblah.”
Berkali kali Batee iliek diserang oleh Belanda pada pada tahun 1880 yang simulai oleh Letnan Van Woortman.
Butuh waktu tiga puluh tahun untuk mempersiapkan serangan Batee Iliek. Akhirnya pada 1901, atas perintah sekaligus memimpin serangan Van Heustz melakukan serangan besar-besaran.
Perjuangan heroik pejuang Batee Iliek pada 3 Februari 1901 adalah sebuah pertempuran luar biasa.
Utang lama itu kemudian ditebus oleh Van Heustz dengan tembusnya pertahanan dan dikuasainya Benteng Kuta Gle.
Pihaknya menderita tewas 5 orang, dan 27 marsose cedera atau luka.
Van Heustz dengan cepat mengkapitalisasi strategi dan aksi militernya ke wilayah politik dan pemerintahan.
Setelah Teuku Umar tewas dan lanjutan berbagai ekpedisi buas dan kejam yang memburu pejuang Aceh ia mulai memetik hasilnya.
Ia berkomunikasi dengan Sultan Muhamamad Daud dan memberi jaminan ia akan tak akan dibuang ke luar Aceh.
Akhirnya pada 1903 Sultan Mauhammad Daud Syah dan Panglima Polem IX yang dikenal dengan Teuku Panglima Polem Sri Muda Perkasa Muhammad Daud menyerah.
Capaian ini telah menambah kapitalisasi politik dan pemerintahan Van Heustz di Aceh setelah sebelumnya terjadi penyerahan mayoritas Hulu Balang di Pidie.
Van Heutz kemudian dikenal karena mampu menerapkan perjanjian pendek- Korte Verklaring,sebagai ganti perjanjian panjang dan runtut dengan penguasa lokal.
Ia telah mampu memaksa penguasa Aceh, baik kerajaan maupun lokal untuk mengakui Aceh sebagai bagian dari Pax Netherlandica.
Pengalaman Aceh Van Heutsz dalam strategi taktik perang anti gerilya, ketika ia menjadi Gubernur Jenderal diterapkan dengan mudah dan cepat diberbagai tempat pemberontakan di Indonesia dan nyaris tak pernah gagal.
*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI
Baca juga: Gisel Ungkap Alasan Buka Hati untuk Rino Soedarjo, Pria yang Sempat Dekat dengan Maria Selena
Baca juga: Icha Ceeby Senang Video Kebaya Merah Viral, Pemeran Pemerkan Alur Ceritanya
Baca juga: Pencuri Kotak Amal di Meunasah Lhok Seudu Terekam CCTV
Baca juga: Pasti Lembut dan Mulus! Resep Omelet Telur Jamur ala Chef Devina Hermawan, Cukup Pakai Bahan Rumahan
Baca juga: Satu Keluarga yang Tewas di Kalideres Diduga Kelaparan, Lambungnya Kosong, Otot-ototnya Mengecil