Kupi Beungoh

Syariatisasi Jalan Raya

Qanun Syariat Islam yang mengatur tentang tatacara berkendara di jalan raya serta sanksi bagi pelanggar demi terciptanya jalan raya yang bersyariat

Editor: Muhammad Hadi
Dok Pribadi
Khairil Miswar, penulis buku Syariat dan Apa Ta’a (Padebooks, 2017) 

Oleh: Khairil Miswar*)

Semua Muslim sepertinya sepakat bahwa kesombongan dan keangkuhan adalah manifestasi dari perilaku setan yang terkutuk.

Karena itu topik tentang kesombongan ini kerap diulang-ulang dalam sejumlah literatur keagamaan.

Tidak cukup dengan tulisan di kitab-kitab, topik ini bahkan sering disuarakan oleh para tokoh agama di panggung-panggung.

Realitas demikian menunjukkan bahwa penolakan terhadap kesombongan telah menjadi konsensus yang tidak lagi memiliki peluang untuk dikoreksi. 

Namun demikian, dalam praktiknya perlawanan terhadap kesombongan kerap berputar-putar dalam lingkaran teoritik belaka, di mana secara faktual perlawanan terhadap terma dimaksud tidak pernah utuh dan bulat alias tidak kaffah.

Hal ini di antaranya tercermin dari perilaku kita sendiri yang terkadang ambigu: Di satu sisi mengecam kesombongan dan di sisi lain memeluk kesombongan dengan begitu mesra.

Ambiguitas ini bisa dilihat di antaranya dalam sikap sebagian kita yang begitu bersemangat mengutuk kesombongan melalui narasi-narasi religius di atas mimbar, tapi ketika turun dari mimbar kita justru memandang orang-orang dengan pandangan sinis.

Kesombongan di Jalan Raya

Selain persoalan ambiguisitas dalam memandang kesombongan, kita juga kerap membiarkan kesombongan berlangsung dalam beberapa aspek kehidupan – yang terkadang kita anggap sebagai bukan kesombongan hanya karena kita sebagai pelakunya.

Sebagai contoh adalah praktik kesombongan di jalan raya yang saban hari kita ulang, baik sadar, setengah sadar atau pun tidak.

Kesombongan di jalan raya ini sering kali melibatkan semua kalangan, baik kaum terpelajar atau pun “komunitas bebal” yang sedari lahir memang tak bisa diatur.

Dalam konteks ketertiban dan keselamatan, praktik kesombongan di jalan raya ini tentunya sangat mengganggu, untuk tidak menyebut menyebalkan.

Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (XII) Benarkah Iskandar Muda Raja Liberal ?

Untuk bisa menyeberang di area zebra cross saja terkadang kita harus menunggu kucing bertanduk akibat tidak adanya kesadaran dari pengendara untuk memberi kesempatan kepada para penyeberang.

Parahnya lagi ketika ada pejalan kaki yang ingin menyeberang sebagian pengendara justru menyalakan lampu sorot sebagai kode bahwa jalan itu hanya miliki “nenek-moyangnya.”

Tidak hanya pengendara yang “sok sibuk” dalam melintas, ramai pula para penyeberang yang tiba-tiba menjadi komedian yang menyeberangi jalanan macet dengan begitu santuy dan gemulai seolah-olah baru keluar dari kamar mandi.

Kerumitan di jalan raya juga dilengkapi dengan kehadiran kaum ibu-ibu yang terkadang membuat arisan plus reuni atau berparade dengan kode lampu sein yang hanya dipahami oleh dirinya dan Tuhan.

Fenomena lainnya yang tak kalah unik adalah tidak berfungsinya rambu-rambu, di mana pengendara kerap melakukan tafsir ulang terhadap aturan yang telah ada.

Pemandangan ini di antaranya bisa disaksikan gratis di Kota Matangglumpangdua, di mana tiga warna lampu di perempatan telah ditafsir ulang sehingga memiliki makna yang sama: Hijau-maju, kuning-maju dan merah pun maju.

Berhenti saat lampu merah di sana justru bisa mengundang petaka atau minimal mendapat gertak melalui klakson dari pengemudi-pengemudi budiman.

Dalam konteks Aceh yang telah menerapkan formalisasi syariat Islam selama dua puluh tahun.

Pemandangan demikian tentunya tidak saja merusak pandangan tapi juga membunuh kewarasan kaum-kaum terdidik yang di satu sisi meneriakkan yel-yel syariat Islam dalam setiap kesempatan.

Baca juga: Penumpang Mabuk Kencingi Wanita, Maskapai Penerbangan India Didenda Rp558 Juta, Ini Kronologinya

Namun di sisi lain terkesan membiarkan perilaku itu kekal di hadapan mereka.

Berangkat dari kenyataan ini, kita jadi berpikir apakah syariat Islam tidak diizinkan masuk ke jalan raya?

Atau mungkin kita telah bersepakat untuk mengusirnya agar jalan raya kian liberal?

Tapi bukanlah kesombongan di jalan raya juga harus dikutuk?

Dua pertanyaan pertama akan tetap kita biarkan mengapung sebagai penanda bahwa jalan raya kita memang belum bersyariat.

Adapun pertanyaan terakhir, Alquran telah menjelaskan dengan tegas.

Dengan mengembalikan otoritas tafsir kepada ahlinya, secara tekstual, surat Al-Isra ayat 37 dengan lugas mengatakan “Janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan sombong.”

Bersandar kepada ayat ini, sekali lagi secara tekstual – sangat jelas bahwa jalan raya adalah bagian dari muka bumi sehingga penolakan terhadap kesombongan di jalan raya memiliki landasan teologis dalam kitab suci.

Qanun Syariat Islam tentang Jalan Raya

Menyimak fenomena yang telah diurai sebelumnya, saya pikir sudah saatnya elite-elite penguasa di Aceh menggagas lahirnya Qanun Syariat Islam yang mengatur tentang tatacara berkendara di jalan raya serta sanksi bagi pelanggar demi terciptanya jalan raya yang bersyariat.

Syariatisasi jalan raya ini harus menjadi salah satu agenda penting untuk menertibkan praktik kesombongan yang telah berlangsung di sana “berabad-abad” lamanya.

Dengan adanya qanun ini nantinya para pelanggar syariat di jalan raya juga bisa dicambuk seperti halnya pelaku mesum.

Baca juga: EKSKLUSIF - Buya Yahya Bangga dengan Penerapan Syariat Islam di Aceh

Lagi pula, penggunaan undang-undang konvensional semisal UU Lalu Lintas selama ini sama sekali belum mampu memberi efek jera kepada para pengendara yang sejak awal telah memilih menjadi “bebal.” 

Usia formalisasi syariat Islam di Aceh yang telah mencapai dua puluh tahun sudah cukup menjadi alasan agar nilai-nilai syariat bisa masuk ke dalam setiap sendi kehidupan.

Termasuk jalan raya sehingga parade kesombongan bisa berkurang. Karena itu, kita tunggu keberanian elite-elite kita agar syariat segera hadir di jalan raya.

Atau mungkin qanunnya sudah ada tapi belum sempat dikampanyekan?

*) PENULIS adalah penulis buku Syariat dan Apa Ta’a (Padebooks, 2017).

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca  Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved