Kupi Beungoh
“Acehnya” Almarhum Sarwono Kusumaatmaja: Laot, Blang, Uteun
Sulit membayangkan keberadaan lembaga panglima laot Provinsi Aceh yang hari ini eksis dan bangkit tanpa dikaitkan dengan nama Sarwono Kusumaatmaja.
Ia sanggup duduk dengan sabar, ber jam-jam ketika berdiskusi dengan tokoh nelayan.
Disamping itu, ia sangat rajin memastikan manajemen organisasi dan keuangan berjalan dengan baik.
• Innalillahi, Menteri Kelautan dan Perikanan Sarwono Meninggal Dunia di Penang
Uteun Leuser
Tidak hanya di laut, Sarwono juga mencintai Aceh dengan memberi perhatian besar kepada penyelamatan paru-paru dunia, kawasan ekosistem Leuser.
Ia menggantikan Mayjen AR Ramly sebagai ketua Yayasan Leuser Internasional, yang memberi perhatian tidak hanya untuk lingkungan semata, akan tetapi juga kepada keberlanjutan jasa lingkungan untuk pantai timur dan pantai barat Aceh.
Banyak pihak yang tidak tahu, luas kawasan ekosistem Leuser dia Aceh yang lebih dari 1,7 juta hektar itu kini berada dalam ancaman, akibat belum konkritnya rencana pengelolaan kawasan, yang dikaitkan dengan pembangunan daerah.
Tidak kurang dari satu miliar dolar, nilai ekonomi yang didapatkan oleh Aceh, baik di wilayah pantai timur, pantai barat, dan wilayah tengah Aceh, akibat adanya kawasan hutan ini.
Nilai itu baik langsung, maupun tak langsung dinikmati oleh rakyat Aceh, yang sering disebutkan dengan jasa lingkungan.
Tidak dapat dibantah, kawasan ekosistem Leuser disamping memiliki kekayaan habitat yang unik dan tak ternilai harganya, juga menjadi penjamin keberlanjutan kehidupan pesisir untuk pertanian padi, palawija, tambak, perkebunan, industri, dan bahkan air minum penduduk.
Di kawasan tengah, ekositem Leuser juga menjadi faktor penting dalam menghadirkan iklim mikro bagi jenis usaha komoditi tertentu-seperti kopi arabika gayo, dan berbagai jenis komoditi hortikultura lainnya.
Ketika judul tulisan ini ditulis kata “laot, blang, uteun” dan kaitannya dengan Sarwono, maka apa yang dikerjakan olehnya tanpa pamrih adalah memberikan apa yang “terbaik” yang dimilkinya untuk Aceh.
Ia tak pernah berhenti berfikir, dan berbuat, sesuai dengan kapasitasnya untuk Aceh.
Hatta di ujung hidupnya pun, ia masih berkeinginan untuk hadir dan memberikan sesuatu dalam “Duek Paket Rayek Panglima Laot” se Aceh yang digelar minggu yang lalu di Banda Aceh.
Musyawarah panglima laot itu ditunda beberapa kali, menunggu Sarwono sembuh.
Namun nasib berkata lain, Allah SWT memanggilnya satu hari sebelum acara itu berlangsung.
Satu hal yang penting untuk diketahui oleh masyarakat Aceh adalah Sarwono, putra Jawa Barat itu sangat bangga bisa berbuat untuk Aceh.
Ia bahkan membanggakan Aceh ketika ia berbicara di berbagai pertemuan nasional dan internasional.
Ketika ada satu dua peserta pada berbagai pertemuan, yang menyitir “kebrobrokan” Aceh dengan bukti uang melimpah dan kemiskinan dan korupsi yang berlanjut, Sarwono dengan ringan membantah.
Ia merespons, sebagian sinyalemen itu benar, tetapi sebagian lainnya salah.
Ia dengan bangga menyebut YPMAN sebagai salah satu bukti betapa orang Aceh itu amanah dan berkomitmen untuk melaksanakan sesuatu yang telah diputuskan, terutama ketika menyangkut dengan “dana publik” -dana yayasan, berikut dengan pemanfaatannya.
Ia sering berkata ketika “akuntabilitas” dan “transparansi” hadir, semuanya akan beres.
Itu yang diwanti-wanti ketika YPMAN didirikan, dan hal itu yang terus menerus diingatkan, bahkan diawasi ketat dalam operasional yayasan.
Sarwono kini telah tiada.
Ia meninggalkan cukup banyak warisan bagi yang mau memberi perhatian.
Ia adalah politisi Orde Baru yang terkenal bersih, berprinsip, dan sangat sederhana.
Kemana pun ia pergi, tawaran apapun yang diberikan ia tetap Sarwono yang tahu sekali tentang benar dan salah.
Tentang Aceh ia tak salah, baik ketika ia memilih bidang pengabdiannya, maupun dalam melakukan pengabdian itu sendiri.
Hidupnya kadang ramai, namun tak jarang kadang sunyi, sepi, dan sendiri.
Kurang dari setahun yang lalu, ketika suatu sore saya makan pagi dengan Sarwono di sebuah hotel di kawasan Kuningan di Jakarta, kami berdiskusi panjang.
Topiknya mulai dari sejarah ia bergabung dengan Golkar dan perjalanan Orde Baru, kedekatannya dengan Gus Dur.
Kami juga berdisikusi tentang situasi terakhir nasional.
Saya lebih sering bertanya atau menyitir topik-topik terakhir, dan ia menjawab dengan baik.
Ketika kami mau pulang, saya bertanya kepadanya, kenapa ia mau ke Aceh, padahal banyak bidang pengabdian di tempat lain yang menunggunya.
Ia menjawab dengan ringkas yang saya juga tahu.
Ia banyak sekali terlibat dalam berbagai yayasan atau organisasi yang berurusan dengan “berbuat baik” kepada manusia dan semua makhluk.
Sara Kata dari Samudera Pasai
Tentang Aceh, disamping alasan umum, Sarwono punya alasan khusus.
Ia dengan bangga menyebutkan “sara kata” keluarga ayahnya yang menyebutkan kakek buyutnya berasal dari Samudera Pasai, Aceh.
Kemungkinan besar, kakek moyangnya berangkat dari Pasai, ketika rombongan ekspedisi Fatahillah mendarat dan membangun kota Jakarta.
Tentang bagaimana perjalanan moyangnya sampai ke Jawa Barat, tidak diceritakan.
Ketika saya bertanya, boleh tidak saya beritahu pada banyak teman-teman Aceh, ia tidak menjawab langsung.
Sambil berseloroh dan tertawa ringan ia berkata, “boleh nanti ketika saya sudah meninggal”.
Kami lalu berpisah, dan tak pernah bertemu lagi kecuali lewat whatsApp.
Dan hari ini, saya menyampaikan seperti yang ia wasiatkan.
Selamat jalan manusia Pasai.
Semoga amal jariahmu di dunia, seperti janjiNya, mendapat balasan dari sang Khalik.
*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.