Kupi Beungoh
Budaya Pidie: Mita Sithon Pajoh Sibuleun
Daerah-daerah yang menjanjikan secara ekonomi telah ada dalam catatan orang Pidie yang diceritakan secara turun-temurun.
Pada masa lampau, para perantau asal Pidie menetap selama sebulan lebih di kampung.
Mereka pulang kampung sejak sebelum pelaksanaan makmeugang. Mereka baru balik ke perantauan setelah selesai merayakan Idul Fitri dan tot beude trieng (permainan bedil-bedilan dari bambu).
Dalam kontek ini, di Pidie terdapat kalimat bijak menyerupai hadih maja: Mita sithon, pajoh sibuleun.
Maknanya kira-kira, mereka menncari nafkah selama satu tahun untuk dimakan selama satu bulan.
Perantau berada di kampung dan menikmati hasil kerja mereka di kampung dalam suasana damai sambil beribadah selama satu bulan.
Baca juga: Puasa Semakin Dibutuhkan di Era Mental Health
Mereka membawa bekal yang cukup dari rantau, bahkan melebihi untuk operasional di kampung.
Di beberapa kampung di Pidie, suasana Idul Fitri digambarkan mirip suasana nasional dengan maraknya mobil bernomor polisi dari berbagai daerah di Indonesia.
Bertaburan mobil baru dengan nopol B, E, F, L, DK, BP, BH, BE, BG, BK dan lain-lain.
Lebih dari itu, liputan Serambi Indonesia menggambarkan suasana lebaran di beberapa kampung di Pidie mirip suasana internasional karena mudiknya anak-anak perantau dari luar negeri, terutama Australia, Selandia Baru, Saudi Arabia Malaysia dan lain-lain (Baca: Lebaran Internasioal di Gampong Aree, SerambiNews.com edisi 22 Juli 2015).
Mulai Memudar
Budaya mita sithon, pajoh sibuleun akhir-akhir ini tampak memulai memudar di Pidie.
Sebagian perantau asal Pidie tak lagi memilih pulang kampung dan menetap selama satu bulan penuh.
Sebagian mereka hanya pulang kampung menjelang lebaran. Mereka menetap selama 3-7 hari di kampung.
Pengikisan budaya mita sithon, pajoh sibuleun terjadi karena tiga faktor.
Pertama adalah adanya perkembangan teknologi informasi. Para perantau dapat berkomunikasi dengan mudah melalui video call dengan keluarga di kampung sehingga kerinduan akan kampung halaman sedikit terobati.
Kedua, sebagian perantau saat ini tak lagi memandang sakral suasana makmeugang dan menjalankan ibadah puasa bersama keluarga di kampung.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.