Breaking News

Kupi Beungoh

Budaya Pidie: Mita Sithon Pajoh Sibuleun

Daerah-daerah yang menjanjikan secara ekonomi telah ada dalam catatan orang Pidie yang diceritakan secara turun-temurun.

Editor: Yeni Hardika
SERAMBINEWS.COM/HO
Tarmizi A Hamid (kiri), budayawan Aceh dan Hasan Basri M. Nur (kanan), mahasiswa PhD di Universiti Utara Malaysia (UUM) Negeri Kedah. 

*) Oleh: Tarmizi A Hamid dan Hasan Basri M. Nur 

Pidie dikenal sebagai daerah khas dan keras di Aceh. Selain dikenal gigeh (gigih, ulet), orang Pidie juga tampaknya senang akan tantangan.

Faktor-faktor tersebut telah membuat penduduk Pidie suka merantau.

Di perantauan tentu banyak tantangan. Tantangan utamanya adalah dalam beradaptasi dengan iklim baru dalam mempertahankan hidup atau aspek ekonomi.

Daerah-daerah yang menjanjikan secara ekonomi telah ada dalam catatan orang Pidie yang diceritakan secara turun-temurun.

Tidak hanya daerah dalam lingkup Aceh, daerah-daerah yang berbeda secara adat dan budaya juga digemari oleh orang Pidie sebagai destinasi perantauan.

Jika kita telusuri seluruh kabupaten/kota di Aceh, maka dipastikan hampir semuanya memiliki komunitas perantau asal Pidie, terutama berprofesi sebagai pedagang.

Demikian juga jika kita telusuri sepenjang jalan mulai dari Bali, Jawa hingga lintas Sumatera, dipastikan sangat mudah ditemui pedagang asal Pidie.

Jika di International Airport Denpasar Bali terdapat “Kedai Kupi Sigli”, maka di seluruh kota besar di Jawa dipastikan terdapat usaha Mie Aceh milik putra Pidie.

Apalagi di Ibukota Jakarta, terutama di Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

Baca juga: Menanti Kejutan dari Pidie

Di Pasar Minggu sangat mudah ditemui pedagang yang bercakap Bahasa Aceh logat Reubee, Beu-ah atau Trueng Campli. Mereka sudah “meukrak” di Jakarta dari tahun ke tahun, sambung-menyambung hingga kini.

Tidak hanya itu, di negara tetangga Malaysia Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat, Saudi Arabia, hingga beberapa negara Eropa juga terdapat perantau asal Pidie.

Gerakan merantau penduduk Pidie makin menggema tatkala di Aceh berlaku konflik dan ditetapkan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM/1989-1998), lalu berlanjut pasca-DOM (1998-2005).

Tradisi Pulang Kampung

Para perantau asal Pidie, di manapun berada, akan pulang kampung menjelang datangnya bulan Ramadhan setiap tahunnya.

Mereka tiba di kampung pada momen makmeugang agar dapat menyantap daging sapi atau kerbau bersama sanak keluarga di kampung halaman.

Pada masa lampau, para perantau asal Pidie menetap selama sebulan lebih di kampung.

Mereka pulang kampung sejak sebelum pelaksanaan makmeugang. Mereka baru balik ke perantauan setelah selesai merayakan Idul Fitri dan tot beude trieng (permainan bedil-bedilan dari bambu).

Dalam kontek ini, di Pidie terdapat kalimat bijak menyerupai hadih maja: Mita sithon, pajoh sibuleun.

Maknanya kira-kira, mereka menncari nafkah selama satu tahun untuk dimakan selama satu bulan.

Perantau berada di kampung dan menikmati hasil kerja mereka di kampung dalam suasana damai sambil beribadah selama satu bulan.

Baca juga: Puasa Semakin Dibutuhkan di Era Mental Health 

Mereka membawa bekal yang cukup dari rantau, bahkan melebihi untuk operasional di kampung.

Di beberapa kampung di Pidie, suasana Idul Fitri digambarkan mirip suasana nasional dengan maraknya mobil bernomor polisi dari berbagai daerah di Indonesia.

Bertaburan mobil baru dengan nopol B, E, F, L, DK, BP, BH, BE, BG, BK dan lain-lain.

Lebih dari itu, liputan Serambi Indonesia menggambarkan suasana lebaran di beberapa kampung di Pidie mirip suasana internasional karena mudiknya anak-anak perantau dari luar negeri, terutama Australia, Selandia Baru, Saudi Arabia Malaysia dan lain-lain (Baca: Lebaran Internasioal di Gampong Aree, SerambiNews.com edisi 22 Juli 2015).

Mulai Memudar

Budaya mita sithon, pajoh sibuleun akhir-akhir ini tampak memulai memudar di Pidie.

Sebagian perantau asal Pidie tak lagi memilih pulang kampung dan menetap selama satu bulan penuh.

Sebagian mereka hanya pulang kampung menjelang lebaran. Mereka menetap selama 3-7 hari di kampung.

Pengikisan budaya mita sithon, pajoh sibuleun terjadi karena tiga faktor.

Pertama adalah adanya perkembangan teknologi informasi. Para perantau dapat berkomunikasi dengan mudah melalui video call dengan keluarga di kampung sehingga kerinduan akan kampung halaman sedikit terobati.

Kedua, sebagian perantau saat ini tak lagi memandang sakral suasana makmeugang dan menjalankan ibadah puasa bersama keluarga di kampung.

Akibatnya mereka enggan menutup usaha di rantau selama bulan Ramadhan.

Ketiga, sebagian perantau harus beradaptasi dengan pekerjaan baru yang bukan milik sendiri.

Para pekerja pada perusahaan swasta dan pemerintah tentu tak mungkin meninggalkan pekerjaan mereka yang sangat terikat dengan aturan dari majikan.

Baca juga: Ramadhan Momen Perbaikan Sosial

Akhirnya, kita tetap berharap terdapat kelompok perantau dan penduduk Pidie yang secara suka rela melestarikan budaya mita sithon, pajoh sibuleun.

Mereka akan menikmati dua dampak dari pelestarian budaya ini, yaitu memiliki waktu untuk istirahat sekaligus ibadah yang cukup.

Manusia membutuhkan keseimbangan ketenangan duniawi dan rohani (ukhrawi).

Istirahat dan ibadah ini akan menciptakan kebahagiaan rohani setelah sebelas bulan mereka bekerja untuk kepetingan “duniawi”. Semoga!

*) PENULIS Tarmizi A Hamid adalah budayawan Aceh dan Hasan Basri M. Nur adalah mahasiswa PhD di Universiti Utara Malaysia (UUM) Negeri Kedah. Keduanya adalah anggota tetap TOMPi.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved