Kupi Beungoh
Jalan Terjal Gubernur Aceh 2024-2029: Aceh -Jakarta, dan Empat “Provinsi Pemberontak” - Bagian XIII
Hasymi sebagai gubernur tidak berhenti dengan konsep diatas kertas belaka. Ia segera melaksanakan bentuk nyata penguatan adat dan kebudayaan Aceh.
Pembangunan industri dan penanaman modal asing berkembang dan mendapat pengakuan internasional. Dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 7 persen pertahun legitimasi Soeharto dan Golkar untuk berkuasa dan melanjutkan tidak lagi dipertanyakan.
Pilar ketersambungan politik daerah dengan pusat pada saat itu tidak lagi hanya pada NKRI dan Pancasila. Golkar bekerja keras dengan berbagai cara untuk memenangkan setiap Pemilu. Kemenangan Golkar di setiap daerah menjadi “simbol affinitas” antara daerah dengan pemerintah pusat.
Muzak Walad sebagai gubernur pada masa itu (1968-1978) sangat mengerti, apa arti kemenangan Golkar untuk pembangunan Aceh.
Tetapi ia juga sadar dan tidak sangat memaksa- seperti di propinsi lain- agar Golkar menang. Ia sangat paham dan Soeharto juga sampai tingkat tertentu paham, Aceh baru saja keluar dari konflik dengan label “ politik islam” yang sangat kental
Pada Pemilu pertama 1971, ketika di tiga “propinsi pemberontak”- Jabar, Sulsel, Sumbar,- ramai-ramai meninggalkan partai-partai Islam - Parmusi, NU, Perti, dan PSII, dan berbondong bondong pindah ke Golkar, di Aceh terjadi sebaliknya. Mayoritas pemilih meencoblos partai-partai Islam.
Golkar tidak pernah menang berkali-kali di Aceh sampai dengan pemilu 1987 ketika gubernur dijabat oleh Ibrahim Hasan. ( Bersambung)
Penulis: Sosiolog dan Guru Besar USK
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.