Kupi Beungoh
Zina Dilokalisasi, Poligami Dihujat, Paradoks Sosial dan Religius dalam Masyarakat Modern
Secara sosial, poligami dapat menyebabkan ketidakstabilan dalam rumah tangga, terutama jika prinsip keadilan dan keseimbangan tidak dipenuhi
Zina Dilokalisasi, Poligami Dihujat
( Paradoks Sosial dan Religius dalam Masyarakat Modern)
Oleh Tgk Mustafa Husen Woyla *)
Kontroversi poligami dan fenomena zina mencerminkan konflik yang lebih luas dalam masyarakat modern antara nilai-nilai tradisional dan perkembangan sosial kontemporer.
Poligami sering kali dikritik sebagai praktik patriarkal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kesetaraan gender.
Sementara itu, zina, meskipun dikecam secara moral dan religius, tampaknya semakin diterima atau ditoleransi dalam berbagai budaya.
Bahkan di negara-negara Islam, banyak orang di media sosial yang memamerkan hubungan haram dan membahas pengalaman seksual mereka secara terbuka.
Artikel ini berupaya mengeksplorasi dimensi sosial, hukum, dan etis dari kedua fenomena tersebut serta menyoroti kontradiksi dalam penerimaan mereka di masyarakat.
Kontroversi Poligami: Perspektif Sosial dan Agama
Poligami, praktik di mana seorang pria memiliki lebih dari satu istri, masih legal dan diterima dalam beberapa budaya dan agama, termasuk dalam Islam, dengan syarat-syarat yang ketat untuk menjaga keadilan dan kesejahteraan istri-istri.
Namun, dalam realitas sosial, praktik ini sering kali menimbulkan masalah dinamika keluarga yang kompleks dan ketegangan antar anggota keluarga.
Implikasi Sosial dari Praktik Poligami
Secara sosial, poligami dapat menyebabkan ketidakstabilan dalam rumah tangga, terutama jika prinsip keadilan dan keseimbangan tidak dipenuhi.
Anak-anak dan istri-istri mungkin mengalami persaingan dan kecemburuan, yang dapat mengganggu harmoni keluarga.
Di banyak masyarakat, poligami juga bisa membawa stigma sosial yang tidak etis bagi wanita yang terlibat, terutama kepada istri kedua dan seterusnya.
Hal ini sering kali dipengaruhi oleh kampanye negatif yang menganggap bahwa istri kedua adalah perusak rumah tangga. Padahal, praktik ini masih diizinkan oleh agama dan negara.
Perbandingan Praktik Poligami di Berbagai Negara
Pendekatan terhadap poligami sangat bervariasi di antara negara-negara mayoritas Muslim dan lainnya.
Misalnya: Arab Saudi: Poligami diatur ketat dengan syarat yang harus dipenuhi untuk memastikan keadilan antara istri-istri.
Pria yang ingin menikah lagi harus mendapat persetujuan dari otoritas hukum dan membuktikan kemampuannya untuk mendukung semua istrinya secara finansial dan emosional.
Baca juga: Dijuluki Raja Poligami, Ini 3 Pria Beristri Terbanyak di Indonesia, Ada yang Nikahi 37 Wanita
Turki dan Tunisia: Kedua negara ini telah melarang poligami sebagai bagian dari upaya modernisasi dan reformasi hukum untuk melindungi hak-hak perempuan.
Ini mencerminkan pandangan bahwa praktik tersebut tidak sejalan dengan prinsip-prinsip kesetaraan gender yang mereka junjung.
Pendekatan ini menunjukkan bagaimana setiap negara menavigasi antara nilai-nilai tradisional dan kebutuhan untuk melindungi hak-hak individu dalam masyarakat yang berubah.
Perspektif Feminis Terhadap Poligami
Dari sudut pandang feminis, poligami sering dilihat sebagai bentuk ketidakadilan gender yang memperkuat dominasi pria dan melemahkan posisi perempuan dalam keluarga.
Namun, ada juga argumen bahwa dalam kondisi tertentu, poligami dapat memberikan solusi bagi wanita yang memerlukan dukungan ekonomi atau perlindungan yang tidak bisa mereka peroleh dari keluarga atau masyarakat mereka sendiri.
Poligami dalam Konteks Ekonomi dan Kesejahteraan
Dalam beberapa konteks, poligami bisa dilihat sebagai strategi ekonomi yang pragmatis.
Misalnya, di masyarakat di mana perempuan jauh melebihi jumlah laki-laki akibat perang atau penyakit, poligami dapat menjadi cara untuk memastikan bahwa lebih banyak perempuan memiliki akses ke perlindungan dan dukungan ekonomi.
Baca juga: Mantan Pegawai Pengadilan Agama Ungkap Penyebab Banyak Suami Poligami, Alasan Utama Masalah Ranjang
Namun, pandangan ini harus diseimbangkan dengan kesadaran akan potensi risiko poligami dalam menciptakan ketidakadilan dan ketidakseimbangan kekuasaan dalam hubungan.
Oleh karena itu, diskusi tentang poligami harus mencakup tidak hanya aspek ekonomi tetapi juga implikasi sosial dan psikologis dari praktik tersebut.
Zina: Fenomena yang Diterima di Balik Kontroversi
Di sisi lain, zina atau hubungan di luar nikah, meskipun dilarang secara agama dan sering kali dikritik secara moral, tampaknya semakin diterima atau setidaknya ditoleransi dalam banyak budaya.
Ini menciptakan paradoks di mana tindakan yang secara terang-terangan bertentangan dengan norma agama dan sosial tampak kurang dikritik daripada poligami, yang setidaknya memiliki dasar legal dan moral dalam beberapa tradisi.
Normalisasi Zina dalam Masyarakat Modern
Di banyak negara, hubungan di luar nikah atau zina sering kali diperlakukan dengan lebih ringan dalam hukum dan sering kali ditoleransi atau bahkan dirayakan dalam budaya populer.
Film, televisi, dan media sosial sering kali menggambarkan zina sebagai bentuk kebebasan pribadi atau eksplorasi romantis, mengabaikan dampak potensialnya pada hubungan dan stabilitas sosial.
Implikasi Etis dan Legal dari Zina
Secara legal, zina jarang ditangani dengan keras kecuali dalam yurisdiksi tertentu yang menerapkan hukum syariah secara ketat, seperti di Aceh dan beberapa negara Islam lainnya.
Sebaliknya, poligami sering kali berada di bawah pengawasan ketat atau bahkan dilarang. Hal ini mencerminkan ketidakselarasan dalam bagaimana hukum dan masyarakat menilai kedua tindakan tersebut.
Baca juga: Ada Anggapan Dosa Zina Bisa Menurun hingga ke Anak Cucu, Buya Yahya Tegas Beri Jawaban Ini
Secara etis, zina menimbulkan masalah tentang kejujuran dan kepercayaan dalam hubungan. Pengkhianatan terhadap pasangan dapat menyebabkan trauma emosional dan merusak fondasi keluarga.
Meskipun poligami juga bisa membawa tantangan, ketika dilakukan dengan transparansi dan kesepakatan bersama, praktik ini dapat dianggap lebih etis daripada hubungan di luar nikah yang tersembunyi dan menipu.
Dampak Empiris dari Zina dan Lokalisasi PSK
Secara empiris, zina dan lokalisasi pekerja seks komersial (PSK) di daerah-daerah khusus memiliki dampak sosial dan kesehatan yang signifikan. Penelitian menunjukkan bahwa keberadaan daerah-daerah seperti ini dapat meningkatkan penyebaran infeksi menular seksual (IMS), termasuk HIV/AIDS.
Sebagai contoh, di Indonesia, prevalensi HIV di antara pekerja seks perempuan (lonte) tetap tinggi. Hal ini tidak hanya membahayakan para lonte sendiri, tetapi juga pezina laki-laki (klien mereka) dan komunitas yang lebih luas, sehingga memperburuk masalah kesehatan masyarakat.
Lokalisasi PSK, atau pembentukan daerah-daerah khusus untuk pekerja seks komersial, sering kali diusulkan sebagai solusi untuk mengendalikan dampak zina.
Namun, fakta menunjukkan bahwa lokalisasi ini tidak selalu efektif dalam mengurangi penyebaran penyakit menular seksual atau meningkatkan kesejahteraan para pekerja seks. Sebaliknya, banyak dari mereka terus menghadapi stigma sosial, kekerasan, dan eksploitasi.
Baca juga: MS Jantho Tangani 1.033 Perkara, Tertinggi Istri Ceraikan Suami, 16 Kasus Rudapaksa dan 4 Poligami
Membangun Pemahaman yang Lebih Luas tentang Nilai-nilai Kemanusiaan
Dalam mengeksplorasi kedua fenomena ini, penting untuk menelaah nilai-nilai kemanusiaan yang mendasari pandangan kita tentang poligami dan zina.
Keadilan, kesetaraan, dan penghargaan terhadap martabat manusia harus menjadi pedoman dalam menilai dan menanggapi kedua isu ini.
Promosi Dialog yang Inklusif dan Menghormati Keragaman
Islam membolehkan poligami bukan sebagai anjuran utama tetapi sebagai solusi dalam kondisi tertentu.
Banyak umat Islam yang menghargai monogami dan mempraktikkannya sebagai bentuk komitmen utama dalam pernikahan.
Sebaliknya, fenomena zina semakin marak, terutama di kalangan remaja dan mahasiswa. Pria tua sering mengejar hubungan dengan wanita yang lebih muda atau janda.
Cara-cara ini sering kali tidak manusiawi dalam menyalurkan hasrat seksual, yang mengarah pada penyebaran penyakit menular seksual, termasuk HIV, yang juga bisa menular kepada pasangan sah mereka.
Dua fenomena
Poligami dan zina adalah dua fenomena yang mencerminkan tantangan sosial dan moral yang kompleks dalam masyarakat modern.
Dengan mendalami berbagai dimensi dari kedua isu ini, kita dapat membangun pemahaman yang lebih komprehensif dan seimbang.
Masyarakat harus menghadapi kenyataan bahwa poligami dan zina tidak dapat dilihat hanya melalui lensa hukum atau moral semata, tetapi harus dipertimbangkan dalam konteks sosial, ekonomi, dan budaya yang lebih luas.
Baca juga: Curhat Pria Tinggal Serumah Bersama 3 Istri, Awalnya Bahagia, Kini Menyesal Sudah Poligami
Dengan demikian, kita dapat mempromosikan keadilan, kesetaraan, dan penghormatan terhadap martabat manusia dalam semua konteks masyarakat, dan selamat dari menjadi binatang modern yang memperbudak hawa nafsu semata.
Mari kita berdoa jauh dari Zina, Allahumma innii a'uudzubika min syarri sam'i, wa min syarri bashari, wa min syarri lisani, wa min syarri qalbi, wa min syarri maniyyi.
Ya Allah, aku meminta perlindungan kepada-Mu dari kejelekan pendengaranku, dari kejelekan penglihatanku, dari kejelekan lisanku, dari kejelekan hatiku, serta dari kejelekan kemaluanku. (risalahbuyawoyla@gmail.com)
*) PENULIS adalah Ketua Umum DPP ISAD, Alumni Dayah BUDI Lamno dan Pengamat Bumoe Singet
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI
Integritas dan Sistem Bercerai, Korupsi Berpesta |
![]() |
---|
Kemudahan Tanpa Tantangan, Jalan Sunyi Menuju Kemunduran Bangsa |
![]() |
---|
Memaknai Kurikulum Cinta dalam Proses Pembelajaran di MTs Harapan Bangsa Aceh Barat |
![]() |
---|
Haul Ke-1 Tu Sop Jeunieb - Warisan Keberanian, Keterbukaan, dan Cinta tak Henti pada Aceh |
![]() |
---|
Bank Syariah Lebih Mahal: Salah Akad atau Salah Praktik? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.