Citizen Reporter
Jalan Kaki ke Thailand: Jalan Mulus, Jamuan Makan dan Memori Kejayaan Aceh Masa Lampau
Dalam amatan saya, pembangunan di Thailand Selatan tergolong bagus. Jalan-jalan mulus, kokoh dan luas. Jalan ini menjadi sumber pendongkrak ekonomi
Safaruddin SH MH, Mahasiswa Program Doktor Universitas Syiah Kuala, Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh, melaporkan dari Thailand
***
Pada awal Juli 2024 saya berkunjung ke Negeri Kedah Malaysia untuk menghadiri viva (sidang mempertahankan disertasi) sahabat saya, Hasan Basri M Nur, yang kuliah pada School of Language, Civilization and Philosophy (SLCP) Universiti Utara Malaysia (UUM).
Usai pelaksanaan viva di Kampus UUM, untuk mengisi menambah wawasan, saya dan Hasan Basri memutuskan melakukan perjalanan darat ke Thailand melalui pintu gerbang Bukit Kayu Hitam.
Gerbang sempadan Malaysia – Thailand ini sangat dekat dari Kampus UUM atau dari kota perbatasan Changloon.
Kami diantar dengan mobil ke gerbang sempadan oleh Aulia, mahasiswa double degree asal UIN Ar-Raniry di UUM.

Dari gerbang Bukti Kayu Hitam, kami berjalan kaki memasuki Thailand. Persis di perbatasan terdapat kota kecil Dan Nok, Provinsi Songkla.
Dalam amatan saya, pembangunan di Thailand Selatan tergolong bagus. Jalan-jalan mulus, kokoh dan luas. Jalan ini menjadi sumber pendongkrak ekonomi rakyat.
Salain itu, kawasan pertokoan juga hidup dengan aktivitas perdagangan.
Baca juga: Revitalisasi Pendidikan Islam Serambi Mekkah: YARA Advokasi Penduduk Thailand untuk Belajar Ke Aceh
Demikian juga dengan masjid, rata-rata bersih, fasilitas lengkap dan jamaah nyaman saat beribadah.
Hanya satu yang mengganjal para tamu, yaitu tulisan pada papan nama toko, papan pengumuman dan lain-lain, umumnya memakai aksara Siam.
Kami perlu belajar tentang aksara ini dan warga Thailand bersedia mengajarkan kami dengan ramah.
Relasi Aceh - Thailand
Di Kota Dan Nok kami telah ditunggu oleh Bapak Sayooti Samoh dan Mr Mukhlis, warga Provinsi Yala.
Sayooti Samooh memiliki puteri semata wayang nan jelita. Ia sejak lima tahun lalu hingga saat ini belajar di Pondok Pesantren Oemar Diyan Indrapuri. Puteri Pak Sayuti Samoh ini dikenal sebagai juara silat di dayahnya.
Putri Pak Sayooti diperlakukan bak anak angkat oleh keluarga Hasan Basri M Nur, seperti dilakukan kunjungan setiap pekan, dibawa pulang ke rumahnya saat liburan, bahkan diajak berlibur ke luar kota.
Saya sebagai warga Aceh dan Ketua YARA bertekad mengembalikan relasi kedua negara dalam bidang pendidikan; Aceh (Indonesia) dan Thailand.
Kali ini saya merasa beruntung dapat berkenalan dengan Bapak Sayooti Samoh dan keluarga besarnya di Thailand.
Baca juga: Dosen UIN Ar-Raniry Jadi Pembicara di Thailand
Sayooti Samoh dan Mr Mukhlis selama seharian penuh membawa kami ke tempat-tempat bersejarah di Thailand Selatan, mulai Provinsi Songkla hingga Pattani dan Yala.
Sambutan dari keluarga Sayooti dan penduduk Melayu Thailand sangat ramah. Kami mendapat jamuan makan siang dan snack sore yang istimewa dari Pak Sayooti Samoh dan keluarganya.
Sepertinya penduduk Melayu Thailand merindukan keakraban masa lampau, ketika bendera Kesultanan Aceh Darussalam masih berkibar.
Nama Aceh di sana sangat harum sebagai pusat pendidikan Islam. Ini menjadi PR bagi Lembaga Wali Nanggroe, Dinas Pendidikan, Dinas Pendidikan Dayah, Lembaga Keistimewaan Aceh (MPU, MPA, MAA), para rektor beserta guru besar di kampus.
Tokoh-tokoh Melayu Thailand berharap Pemerintah Aceh dan Perguruan Tinggi di Aceh untuk mempermudah jalan bagi anak-anak Thailand belajar di dayah dan kampus-kampus di Aceh.
Dalam analisa saya, ada dua kemudahan yang tersirat mereka dambakan. Pertama, bebas biaya SPP untuk belajar di Perguruan Tinggi.
Baca juga: Mahasiswi UIN Ar-Raniry Ikuti Program IYEC Chapter Singapura, Malaysia dan Thailand, Ini Profilnya
Kedua, Pemerintah Aceh bersedia menyediakan sekretariat untuk pelajar asal Thailand di Aceh. Sekretariat sangat diperlukan untuk mahasiswa atau santri yang baru tiba di Aceh.
Mungkin Pemda Aceh dapat menyediakan atau meminjam pakai semacam rumah tipe 36 saja. Jika sekretariat itu dibangun dengan dana APBA, hanya butuh dana sekitar Rp 100 juta saja dan ia tetap aset Aceh.
Mudah dan murah bukan jika dibandingkan dengan manfaat yang akan diterima oleh Aceh dan mahasiswa asal Thailand?
Kuncinya adalah adanya kemauan dari pejabat dan anggota DPRA saja. Semoga!
Baca juga: Prof Saiful Akmal dari UIN Ar-Raniry Beri Kuliah Umum di Pattani Thailand, Bahas Resolusi Konflik
Aplikasi 'Too Good To Go' Upaya Belgia Kurangi Limbah Makanan |
![]() |
---|
Kisah Sungai yang Jadi Nadi Kehidupan di Kuala Lumpur |
![]() |
---|
Mengelola Kehidupan Melalui Kematian: Studi Lapangan Manajemen Budaya di Londa, Toraja |
![]() |
---|
Saat Penulis Sastra Wanita 5 Negara Berhimpun di Melaka |
![]() |
---|
Saat Mahasiswi UIN Ar-Raniry Jadi Sukarelawan Literasi untuk Anak Singapura |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.