Kupi Beungoh
Dimana MPA di Hari Pendidikan Aceh
Kopelma Darussalam merupakan simbol dan semangat kebangkitan dan titik tolak kemajuan pendidikan di Aceh pasca konflik politik yang berkepanjangan
Dayah (tradisional)-sekolah-madrasah-dayah terpadu (menjalankan dua jenis pendidikan dalam satu kelembagaan dayah atau menyediakan dua sistem pendidikan-pendidikan dayah dan sekolah secara terpisah, namun dilaksakan secara masing-masing tetapi dalam lingkungan dayah tradisional.
Upaya Meraih Asa
Rekayasa sistem lembaga pendidikan terus diupayakan di Aceh selama beberapa dekade hingga sekarang.
Contohnya usaha memadukan madrasah dan dayah di Aceh yang melahirkan MAN-PK, pemaduan antara sistem sekolah dan dayah (contoh dayah terpadu YPUI Darul Ulum), atau pemaduan madrasah-sekolah dan dayah (dayah modern/terpadu).
Dari segi praktek pendidikan, maka ikhtiar integrasi pendidikan di Aceh sudah mulai dijalankan. Namun dari aspek organisasi dan kepemimpinan (struktural) hal ini belum terwujud, belum terpadu dan masih bergerk sendiri-sendiri.
Hal ini disebabkan adanya kendala birokrasi dan sentralisasi pendidikan. Aspek yang paling penting dalam organisasi pendidikan adalah adanya kepemimpinan yang efektif dalam pelaksanaan pendidikan.
Salah satu persoalan penting dalam pengembangan pendidikan di Aceh adalah menentukan siapa sebenarnya yang bertanggungjawab terhadap perkembangan pendidikan, baik pendidikan dayah, madrasah dan sekolah.
Sebenarnya sebagai penguasa daerah dan sebagai kepala daerah, maka gubernur pada dasarnya memegang tanggungjawab integral terhadap nasib pendidikan di Aceh secara keseluruhan (dinas pendidikan umum, dinas pendidikan dayah, kementerian agama).
Tetapi karena sistem pendidikan kita yang masih sentralistis, maka peranan gubernur cukup terbatas, baik dari aspek kebijakan, penerapan maupun pembiayaan.
Dengan dibentuknya MPD sebagai badan non-struktural dari Pemerintah Aceh diharapkan kepala daerah dapat memberikan suatu kepemimpinan integral terhadap perkembangan pendidikan di Aceh secara keseluruhan.
Karena badan ini mewakili dan bertanggungjawab kepada gubernur. Karena itu fungsi MPD sebagai organisasi bersama yang menentukan arah kegiatan pendidikan yang terintegrasi di Aceh.
Namun apa lacur jika kita melihat kondisi MPA sekarang, jangankan mengembankan misi keistimewaan Aceh dalam pembangunan kemajuan pendidikan, persoalan internal kelembagaan saja belum selesai sampai hari ini.
Baca juga: Ketua MPA Sebut Penyelenggaraan Mubes Berdasarkan Qanun dan Pergub
Persoalan internal kelembagaan MPA yang cukup mendesak untuk dibenahi adalah mensterilkan lembaga ini dari kunkungan kepentingan politik kekuasaan pemerintah dan diskriminasi golongan.
MPA harus benar-benar kembali ke khittah dan amanat keistimewaan Aceh sebagai badan non-struktural. Artinya hanya orang-orang profesional di bidang pendidikan saja yang menggawangi badan ini, baik pada level ketua maupun anggota.
Miris jika melihat kekisruhan terkait dengan kepengurusan yang baru yang menjadi sorotan masyarakat. Pengurusan MPA didominasi oleh mantan pejabat daerah dan orang-orang berpengaruh lainnya namun tidak memiliki rekam jejak dan kiprah yang baik terhadap pengembangan pendidikan Aceh.
Dalam kondisi seperti ini bagaimana mungkin MPD menjalankan misinya—alih-alih membawa kemajuan pendidikan Aceh--memperbaiki carut marut mutu pendidikan Aceh yang semakin terpuruk saja belum belum nampak gebrakannya.
*) PENULIS adalah Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar-Raniry
email: muhibuddin.hanafiah@ar-raniry.ac.id
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.