KUPI BEUNGOH

Ragam Retorika Pemimpin di Indonesia: “Ndasmu” Prabowo hingga “Bek Syeh Syoh” Mualem

Jejak digital tidak mengenal kata “maaf”. Setiap yang terucap akan terus hidup, mengendap di memori kolektif publik

Editor: Muhammad Hadi
FOR SERAMBINEWS.COM
Syifaurrahmah Azhari, Mahasiswa Prodi KPI FDK UIN Ar-Raniry Banda Aceh 

Namun, sebaliknya, mantan Gubernur Nova Iriansyah kerap dikritik karena komunikasi politiknya yang kurang efektif. Hubungan yang tegang dengan DPRA serta minimnya komunikasi langsung dengan masyarakat menjadi batu sandungan dalam masa kepemimpinannya. 

Banyak kebijakan yang gagal dipahami atau diterima masyarakat karena lemahnya narasi dan kejelasan pesan.

Ketidaksensitifan Menteri dan Elit Nasional

Fenomena komunikasi publik yang keliru tidak hanya terjadi di Aceh. Di tingkat nasional, beberapa menteri juga memperlihatkan betapa pentingnya kepekaan dalam berbicara.

Yaqut Cholil Qoumas saat menjabat menteri agama pada Rabu, 23 Februari 2022 sempat memicu kontroversi karena menyamakan suara adzan yang keras dengan gonggongan anjing, dalam konteks membahas kebisingan di ruang publik.

Meski maksudnya adalah soal toleransi dan penertiban suara, analogi tersebut langsung ditolak oleh banyak kalangan dan dianggap melecehkan simbol keagamaan.

Begitu juga dengan Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer. Dalam wawancara pada 17 Februari 2025, menyatakan: “Mau kabur, kabur sajalah. Kalau perlu, jangan balik lagi, hi-hi-hi.” 

Ucapan itu dilontarkan saat menanggapi gelombang kritik terhadap kebijakan ketenagakerjaan. 

Immanuel enggan ambil pusing soal tagar #KaburAjaDulu di media sosial (medsos) yang mendorong warga negara Indonesia (WNI) untuk bekerja di luar negeri, justru mempersilakan WNI yang ingin berkarier di luar negeri untuk tidak perlu kembali ke Indonesia. 

Baca juga: Mualem Sapa Apa Karya di Pelantikan Bupati & Wabup Pidie, Sempat Salaman hingga Bilang Bek Syeh Syoh

Ucapan yang terdengar sarkastik ini sangat tidak layak dari seorang pejabat negara, terlebih dalam isu sensitif seperti ketenagakerjaan dan eksodus warga negara. 

Kasus Deddy Corbuzier yang ditunjuk menjadi Staf Khusus Menteri Pertahanan juga menggambarkan miskomunikasi yang akut. Keputusan itu tidak disertai narasi atau penjelasan yang masuk akal bagi publik. 

Akibatnya, publik menilai penunjukan itu hanya sebagai langkah sensasional tanpa urgensi yang jelas.

Era Digital: Kata Adalah Jejak

Di masa lalu, kesalahan komunikasi mungkin bisa diredam oleh waktu atau media. Tapi kini, semua terarsip dalam bentuk digital: video, caption, screenshot, dan komentar.

Sekali salah bicara, efeknya tak bisa dibalik. Bahkan klarifikasi pun sering kali tak mampu menghapus jejak.

Di era ini, pemimpin tidak hanya dituntut berbicara dengan benar, tapi juga dengan empati. Mereka harus membaca ruang publik, memahami konteks budaya, dan menyampaikan pesan dengan sensitivitas tinggi. Komunikasi bukan hanya seni menyampaikan, tapi juga seni mendengar.

Penutup: Komunikasi adalah Tanggung Jawab Moral

Dari Prabowo hingga Mualem, dari menteri pusat hingga kepala daerah, kita belajar satu hal penting: Retorika bukan sekadar gaya, tapi tanggung jawab moral. 

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved