Kupi Beungoh

Mewujudkan Pembangunan Perdamaian bermartabat

Dalam konteks inilah, kekhususan Aceh harus dibaca sebagai ruang untuk tumbuh, bukan sebagai status yang menutup pintu kritik dan pembaruan.

Editor: Muhammad Hadi
FOR SERAMBINEWS.COM
Yunidar ZA Anggota Asosiasi Analis Kebijakan Indonesia 

Oleh Yunidar ZA*)

Lima belas Agustus 2025 genap dua puluh tahun sejak ditandatanganinya Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). 

Peristiwa ini bukan hanya tonggak perdamaian bagi Aceh, melainkan juga momen penting dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia. 

Kesepahaman yang tercapai kala itu melahirkan fondasi baru bagi status Aceh sebagai daerah dengan kekhususan dan keistimewaan yang diakui secara konstitusional, khususnya melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU PA) dalam mewujudkan perdamaian yang bermartabat.

Dua dekade berlalu, kini menjadi saat yang tepat untuk melakukan refleksi: sejauh mana kekhususan dan keistimewaan Aceh telah diimplementasikan sesuai dengan semangat kesepahaman damai Helsinki. 

Dinamika yang dihadapi Aceh sebagai daerah khusus, dan bagaimana masa depan desain ketatanegaraan kita memosisikan daerah-daerah istimewa seperti Aceh dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia?

Status kekhususan Aceh bukanlah pemberian yang datang tiba-tiba, tetapi merupakan akumulasi dari sejarah panjang perjuangan rakyat Aceh dalam mempertahankan identitas, budaya, kehidupan sosial khas dan hak politiknya. 

Baca juga: Nilai Kontrak 6 Batalyon di Aceh Rp 238 Miliar,Paket di Singkil Batal,Haji Uma: Langgar MoU Helsinki

Bahkan sebelum Indonesia merdeka, Aceh telah dikenal sebagai wilayah yang kuat dalam ilmu pengetahuan, maju peradaban, tradisi dalam syariat Islam, falsafah aceh, adat bak poe teumeureuhom hukom bak syiah kuala qanun bak putrofang dan reusam bak laksamana. Sebagai kehidupan yang sejahtera dan harmonis.

pasca berakrirnya konflik dengan kekerasan yang berkepanjangan selama hampir tiga dekade, MoU Helsinki membuka ruang bagi rekonsiliasi, perdamaian abadi.

 Dalam butir-butir perjanjian damai, tercantum kesepakatan tentang kewenangan lokal yang luas bagi Aceh, termasuk dalam bidang pemerintahan, peradilan berbasis syariat Islam, pengelolaan sumber daya alam, serta partisipasi politik lokal yang khas. Kekhususan ini kemudian diformalkan dalam UU PA Tahun 2006.

Celakanya, dalam praktik implementasi berbagai ketentuan undang-undang ini menghadapi beragam dinamika, tantangan dan hambatan, mulai dari disharmoni regulasi pusat-daerah, tarik-menarik kepentingan politik, hingga inkonsistensi pengakuan terhadap kewenangan lokal yang masih menjadi perjuangan dan optimalisai peraturan pelaksana oleh pemangku kepentingan di Aceh.

Evaluasi terhadap pelaksanaan UU PA tidak hanya menyangkut aspek legal-formal, tetapi juga substansi pelaksanaannya dalam kehidupan masyarakat. 

Pertanyaannya bukan lagi apakah Aceh memiliki kekhususan, melainkan apakah kekhususan tersebut telah mewujudkan kesejahteraan, keadilan, dan stabilitas sosial.

Baca juga: Aceh Usul DOKA 2,5 Persen DAU dalam Revisi UUPA, Pemprov dan DPRA Serahkan Draf ke Banleg DPR RI 

Dari sisi ekonomi, Aceh masih menghadapi tantangan besar. Meskipun mendapat Dana Otonomi Khusus (Otsus) yang cukup besar, data menunjukkan bahwa angka kemiskinan dan pengangguran di Aceh masih tergolong tinggi dibandingkan dengan rata-rata nasional. 

Hal ini menimbulkan pertanyaan serius tentang efektivitas kebijakan fiskal dan kelembagaan dalam sistem otonomi khusus.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved