Kupi Beungoh

Mewujudkan Pembangunan Perdamaian bermartabat

Dalam konteks inilah, kekhususan Aceh harus dibaca sebagai ruang untuk tumbuh, bukan sebagai status yang menutup pintu kritik dan pembaruan.

Editor: Muhammad Hadi
FOR SERAMBINEWS.COM
Yunidar ZA Anggota Asosiasi Analis Kebijakan Indonesia 

Dari sisi politik, otonomi lokal Aceh telah memungkinkan lahirnya partai lokal, seperti Partai Aceh, yang menjadi saluran politik eks kombatan GAM. 

Namun, dalam praktiknya, dinamika elit lokal dan konflik horizontal antarkelompok justru menimbulkan fragmentasi baru dalam masyarakat. Isu kemiskinan, pengangguran dan terbatasnya lapangan pekerjaan.

Aceh bukan satu-satunya daerah yang menyandang status khusus dan istimewa. Daerah Istimewa Yogyakarta, DKI Jakarta, serta Papua juga memiliki kekhususan tersendiri berdasarkan faktor historis dan sosiokultural. 

Dalam kerangka desentralisasi asimetris, Indonesia telah memberikan pembedaan status dan kewenangan kepada daerah-daerah tertentu, sebagai bentuk pengakuan atas keunikan lokal dan demi menjaga keutuhan nasional.

Namun sayangnya, sistem ketatanegaraan kita belum sepenuhnya mampu merumuskan satu model desentralisasi asimetris yang utuh dan konsisten. 

Di satu sisi, pemerintah pusat masih cenderung sentralistis dalam penentuan kebijakan strategis, termasuk dalam hal pengelolaan sumber daya alam. 

Baca juga: Polemik Lapangan Blang Padang, Pemerintah Aceh Bawa Bukti Wakaf Milik Masjid Raya ke Presiden

Di sisi lain, daerah khusus seperti Aceh sering kali menghadapi dilema antara aspirasi lokal dan batasan hukum nasional.

Sebagai contoh, perbedaan tafsir terhadap kewenangan pengelolaan migas antara Pemerintah Aceh dan Kementerian ESDM telah berulang kali menjadi sumber ketegangan.

 Hal ini menunjukkan bahwa harmonisasi regulasi antarlevel pemerintahan masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi kita semua.

Dalam rangka menyambut dua dekade damai di Aceh, berharap berbagai pihak pemangku kepentingan mendorong perlunya forum reflektif dan konstruktif. 

Salah satunya adalah Focus Group Discussion (FGD) bertema “Peluang dan Tantangan Daerah Khusus dan Istimewa dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”.

Acara yang dapat melibatkan para pemangku kepentingan,  anggota DPR RI, anggota DPRA, akademisi, pemerintah daerah, mahasiswa pascasarjana, tokoh pemuda, tokoh perempuan, pengusaha, analis kebijkan, serta tokoh-tokoh nasional yang terlibat dalam proses damai Aceh.

Baca juga: Revisi UUPA Muat Delapan Pasal Perubahan dan Satu Pasal Baru

Lebih jauh, forum ini juga menjadi cermin bahwa bangsa ini terus belajar dari masa lalu dan memperbaiki desain ketatanegaraannya secara adaptif dan inklusif.

Pemikiran tersebut diharapkan dapat menjadi titik temu gagasan untuk merumuskan rekomendasi kebijakan baru, termasuk revisi UU PA yang menjadi isu sentral setelah berakhirnya dana otsus aceh 2027. 

Hal tersebut Pimpinan DPRA, dan Plt. Sekda Aceh, Muhammad Nasir bersama Tim Perumus Revisi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) secara resmi menyerahkan dokumen draft final revisi UU PA kepada Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI di Jakarta pada 23 Mei lalu. (https://dpra.acehprov.go.id dpra-serahkan-draft-final-revisi-uupa-ke-badan-keahlian-dpr-ri).

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved