Pojok Humam Hamid

Dana Otsus Jilid 2: Lagu Lama vs Otoritas Teknokratis - Bagian 1

Sejak 2008 hingga hari ini, triliunan rupiah dana otsus mengalir, tapi berapa banyak yang sungguh-sungguh membangun fondasi masa depan? 

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/HO
Prof. Dr. Ahmad Humam Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh. 

Dan justru di situlah keistimewaan Aceh menemukan makna barunya.

Baca juga: Tegas! Ketua Baleg DPR RI Sebut Otsus Aceh Wajib Diperpanjang

Eksekutor Program Strategis Dana Otsus

Otoritas teknokratis ini diberikan mandat utama untuk menjalankan program-program strategis Dana Otsus. 

Lembaga ini menyusun rencana pembangunan jangka menengah dan panjang, memilih proyek prioritas berdasarkan kebutuhan riil masyarakat, bukan berdasarkan permintaan elite atau tekanan politik. 

Terdapat unit khusus untuk perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, hingga pelaporan yang dapat diakses publik secara daring dan real-time.

Lalu, siapa yang menjaga agar lembaga ini tetap berada pada jalur yang benar? 

Di sinilah peran Dewan Pengarah muncul, yang terdiri dari menteri-menteri terkait pembangunan: Menteri Keuangan, Menteri PPN/Bappenas, Menteri Kesehatan, Menteri Pendidikan, Menteri Pertanian, Menteri Pekerjaan Umum, dan lainnya.

Untuk menjaga keterpaduan dengan “citarasa” daerah, dapat pula beberapa kursi dewan pengarah dialokasikan untuk Aceh, seperti Ketua DPRA, Rektor Perguruan Tinggi, dan Perwakilan Perempuan.

Dewan ini tidak sekadar menjadi pengarah di atas kertas. 

Mereka memiliki otoritas untuk menilai performa lembaga, memberikan dukungan kebijakan lintas sektor.

Dengan keterlibatan para Menteri, otoritas teknokratis ini membuka peluang besar dana tambahan pembangunan apabila Aceh menunjukkan kemajuan yang signifikan.

Ini artinya, jika model dana ekstra pembangunan Papua “dikembarkan” dengan judul “dana percepatan pembangunan”, kita di Aceh membuat innovasi dengan membawa berbagai pimpinan kementerian itu kedalam “lokomotif” percepatan pembangunan Aceh itu sendiri.

Dengan demikian, lembaga teknokratis itu sendiri berpeluang besar untuk mendapat dana tambahan dari para anggota Dewan Pengarah ketika dibutuhkan.

Apalagi bila ada momentum pembangunan yang sangat selaras dengan arah pembangunan nasional yang dituju oleh pemerintah pusat.

Model ini bukan hal baru. 

Kita pernah punya BRR dengan rekam jejak gemilang dalam mengelola dana pascatsunami. 

Selain itu, negara-negara lain seperti Rwanda, Ethiopia, dan Bangladesh juga menggunakan lembaga pembangunan khusus sebagai instrumen lompatan pasca-konflik dan bencana.(Bersambung ke bagian kedua)

*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.

Isi artikel dalam Pojok Humam Hamid menjadi tanggung jawab penulis.

Halaman 4/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved