Kupi Beungoh
Menghadirkan “Efek Purbaya” pada Penanganan Stunting di Aceh
Menurut Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024, prevalensi stunting nasional tercatat 19,8%, turun hampir satu poin dari tahun sebelumnya
Dalam konteks kesehatan publik, “Efek Purbaya” dapat dimaknai sebagai transformasi dari efisiensi fiskal menjadi efisiensi biologis yakni anggaran diarahkan kewujud gizi, pelayanan, dan kehidupan yang lebih sehat. Pergeseran paradigma dari birokrasi yang gemuk menuju kebijakan berdampak langsung bagi rakyat.
Baca juga: Beasiswa Cendekia BAZNAS Timur Tengah 2025 Resmi Dibuka di 8 Negara, Ini Syarat dan Cara Mendaftar
Konteks Aceh: Potensi dan Tantangan
Aceh, dengan status otonomi khusus dan dukungan dana yang relatif besar, seharusnya mampu menjadi model pembangunan manusia di wilayah barat Indonesia. Namun, realitas di lapangan menunjukkan paradoks yang menyentuh Nurani.
Limpahan anggaran belum sepenuhnya berbanding lurus dengan perbaikan kualitas hidup, terutama di bidang gizi dan kesehatan anak.
Masalahnya bukan kekurangan dana, melainkan bagaimana uang dikelola dan diarahkan. Banyak anggaran terserap untuk kegiatan administratif dan seremonial yang minim dampak terhadap masyarakat miskin.
Di sinilah semangat “Efek Purbaya” perlu diterjemahkan di tingkat daerah: menata ulang prioritas, memangkas kegiatan yang tidak produktif, dan menyalurkan setiap rupiah ke program yang nyata dirasakan rakyat kecil.
Langkah awal bisa dimulai dengan revitalisasi posyandu dan PAUD integrative, program yang memadukan pelayanan gizi, kesehatan ibu-anak, dan stimulasi dini dalam satu ekosistem. Model ini telah terbukti efektif di beberapa provinsi lain, dan sangat relevan diterapkan di Aceh yang memiliki basis sosial keagamaan kuat serta jejaring komunitas yang luas.
Selain itu, dibutuhkan kemitraan lintas sektor yang kokoh. Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, serta Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mesti berjalan seiring.
Koordinasi yang baik akan memastikan bahwa intervensi 1.000 hari pertama kehidupan tidak berhenti di ruang rapat, tetapi menyentuh dapur rumah tangga di gampong.
Potensi lokal pun besar. UMKM pangan Aceh dari pengolah ikan, tempe, hingga olahan daun kelor dan pisang bisa diberdayakan sebagai mitra penyedia makanan bergizi berbasis bahan lokal. Dengan demikian, kebijakan gizi sekaligus menggerakkan ekonomi rakyat.
Tanda-tanda kebangkitan kecil sudah mulai terasa. Beberapa hotel di Banda Aceh yang dulu sepi kini mulai terisi kembali, bukan oleh kegiatan birokrasi, melainkan oleh pelatihan UMKM, lokakarya gizi, dan forum kolaborasi kesehatan. Aktivitas ekonomi bergerak, sektor jasa hidup, dan kepercayaan publik tumbuh perlahan.
Efisiensi Harus Disertai Transparansi
Dalam dunia kedokteran, kita memahami satu prinsip dasar: obat yang mujarab pun bisa menjadi racun jika dosisnya keliru. Hal yang sama berlaku dalam kebijakan public, efisiensi tanpa arah dan pengawasan dapat berbalik menjadi pemangkasan yang membahayakan.
Efisiensi anggaran memang membawa semangat pembaruan, tetapi tanpa tata kelola yang transparan, akan mudah tergelincir dan tertipu. Pemotongan belanja harus disertai dengan evaluasi mendalam agar tidak menyentuh sektor-sektor vital seperti tenaga gizi, pelayanan primer di Puskesmas, atau program kesehatan ibu dan anak di daerah terpencil.
Yang dibutuhkan bukan hanya penghematan, tetapi penajaman prioritas. Rakyat berhak tahu berapa dana yang dihemat, ke mana dialirkan, dan apa hasilnya bagi kehidupan mereka. Tanpa transparansi dan akuntabilitas publik, “Efek Purbaya” berisiko berubah menjadi efek bumerang, meleset dari niat awalnya untuk melayani rakyat kecil.
Di sinilah pentingnya integritas fiskal sebagai moral dasar pemerintahan. Efisiensi sejati bukan hanya perkara teknis, melainkan pilihan etis: menjadikan setiap rupiah sebagai amanah, bukan sekadar alat ukur keberhasilan ekonomi. Keberhasilan sebuah pemerintahan tidak diukur dari tebalnya kas negara, tetapi dari sehatnya generasi yang lahir dari rakyatnya.
Penutup
Dari hasil efisiensi anggaran nasional, sekitar Rp 300 triliun negara punya ruang fiskal untuk program prioritas seperti kesehatan, pendidikan, dan pengentasan kemiskinan. Namun, efisiensi bukan pada angka melainkan pada keadilan gizi. Di Aceh, prevalensi stunting yang masih di atas 25 % .
| Santri Dipuji di Podium, Diabaikan dalam Kebijakan |   | 
|---|
| Misteri Dana Abadi Pendidikan Aceh: Triliunan Rupiah yang Mengendap Tanpa Manfaat |   | 
|---|
| Timor Leste dan Tantangan Pendidikan di ASEAN 2025 |   | 
|---|
| Pemuda dan Krisis Teladan: Siapa yang Layak Diteladani di Negeri yang Bising Ini? |   | 
|---|
| Guru Dayah OD Indrapuri Aceh Besar Ciptakan Kamus Indonesia-Arab-Inggris yang Dicetak Puluhan Kali |   | 
|---|


 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
				
			 
											 
											 
											 
											 
											
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.