Breaking News

KUPI BEUNGOH

Perubahan Wajah Epidemi HIV di Aceh, dari Isu Medis ke Krisis Sosial Remaja

Saya melihat fenomena ini bukan sekadar angka di laporan epidemiologi. Ini adalah cermin dari perubahan sosial yang berlangsung pelan tapi pasti.

Editor: Yocerizal
SERAMBINEWS.COM/HO
dr. Devrina Maris, MKM, Dokter Umum dan juga pemerhati masalah HIV/AIDS. 

Selain itu, ada faktor lingkungan digital yang tak bisa kita abaikan. Remaja kini tumbuh di tengah arus informasi yang deras, termasuk konten pornografi yang mudah diakses.

Tanpa pendampingan edukatif, rasa ingin tahu biologis yang alami dapat berubah menjadi perilaku berisiko. Ironisnya, sebagian dari mereka mencari jawaban tentang tubuhnya justru dari sumber-sumber yang keliru.

Masa Sunyi yang Sering Terlupakan

Salah satu aspek yang jarang diketahui masyarakat adalah masa window period, masa di mana seseorang sudah terinfeksi HIV namun hasil tesnya masih negatif karena antibodi belum terbentuk.

Masa ini bisa berlangsung beberapa minggu hingga bulan. Artinya, seseorang bisa terlihat sehat, bahkan hasil tesnya tampak bersih, padahal virusnya sudah bekerja di dalam tubuh.

Masa inilah yang membuat penularan HIV sering tidak disadari. Karena itu, edukasi tentang testing berkala menjadi sangat penting, terutama bagi mereka yang pernah melakukan aktivitas berisiko.

Namun, di lapangan, masih ada rasa takut dan stigma kuat terhadap pemeriksaan HIV. Banyak remaja enggan datang ke layanan kesehatan karena khawatir dicap nakal atau tidak bermoral.

Baca juga: VIDEO - DPD RI Blak-blakan Singgung Rokok Ilegal, Begini Reaksi Menkeu Purbaya

Baca juga: VIDEO Motif Sepele Mahasiswa Tewas Dikeroyok di Masjid Sibolga

Padahal, pemeriksaan dini bukanlah bentuk penghakiman ia adalah tindakan tanggung jawab terhadap diri sendiri dan orang lain.

Menata Ulang Cara Kita Mengedukasi

Kita tidak bisa berharap perubahan datang hanya dari sektor kesehatan. Edukasi HIV harus lintas sektor dan lintas generasi.

Sekolah perlu menjadi ruang aman untuk berbicara tentang kesehatan reproduksi, bukan tempat yang membungkam rasa ingin tahu siswa.

Orang tua perlu belajar berbicara terbuka tanpa menghakimi. Dan tenaga kesehatan, termasuk saya dan rekan-rekan sejawat, harus berani turun langsung ke komunitas, bukan menunggu pasien datang ke klinik.

Pendekatan ini bukan hanya tentang memberi tahu, tapi juga tentang mendengarkan. Banyak remaja yang sebenarnya ingin tahu, tapi tidak tahu kepada siapa mereka bisa bertanya.

Jika kita terus diam, maka ruang edukasi akan diisi oleh sumber yang salah dan akibatnya bisa fatal.

Ketika Data Menjadi Cermin Nurani

Melihat data HIV di Aceh seharusnya membuat kita merenung, bukan sekadar menggeleng prihatin. Ini bukan tentang siapa yang salah, tapi tentang bagaimana kita semua turut bertanggung jawab.

Ketika angka kasus meningkat di kelompok usia muda, itu berarti ada sesuatu yang gagal kita lakukan bersama.

Saya sering bertanya pada diri sendiri: bagaimana mungkin di era teknologi informasi seperti sekarang, anak-anak kita masih buta terhadap isu HIV?

Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved