Kupi Beungoh
Menjaga UUPA Melalui Khanduri Blang
Saya menyarankan kepada DPR Aceh agar UUPA tetap terjaga, khanduri blang sebaiknya dapat dimasukkan menjadi salah satu poin penting dalam UUPA.
Rizki Ardial *)
KHANDURI blang merupakan sebuah tradisi masyarakat Aceh, dimana masyarakat melaksanakan kenduri di sawah setelah panen raya atau menjelang turun kembali ke sawah.
Dalam tradisi masyarakat Aceh, khanduri blang tak ubah halnya seperti pemilihan kepala daerah (Pilkada), yaitu mengakhiri musim sebelumnya dan memulai musim yang baru.
Dengan harapan agar musim selanjutnya lebih baik dari yang sebelumnya.
Hanya saja, jika pilkada dilaksanakan lima tahun sekali, maka khanduri blang dilaksanakan dua sampai tiga kali dalam setahun, tergantung letak sawah dan sumber pengairan.
Kesamaan lainnya, kedua hajatan tersebut sama-sama diatur dalam peraturan khusus.
Untuk Pilkada diatur dalam Undang-undang Pemerintah Aceh (UUPA), sedangkan khanduri blang diatur dalam reusam gampong.
Baca juga: Anggota DPRA Ini Putus Harapan Soal Pilkada 2022: Tak Masalah 2024, Tapi Otsus Harus Abadi
Baca juga: DPRA akan Temui Menkopolhukam, Advokasi Pilkada Aceh Tahun 2022
Baca juga: Meski Tahapan dan Jadwal Pilkada Aceh 2022 Ditunda, KIP Tetap Data Pemilih Berkelanjutan
Kendati demikian, jika kita lihat sepintas, khanduri blang bukanlah sebuah kewajiban yang harus dilakukan sebagaimana biasanya.
Karena bagi para petani, ada tidaknya khanduri blang, mereka tetap turun ke sawah.
Karena itu memang merupakan mata pencaharian utama petani untuk bertahan hidup.
Akan tetapi, petani tetap saja melaksanakan khanduri blang, karena dianggap penting untuk menjaga tradisi dan reusam warisan para indatu.
Menjadi sebuah kebanggaan bagi mereka dapat menjaga tradisi yang diwariskan secara turun temurun tersebut agar tidak punah ditelan zaman.
'Mate Aneuk Meupat Jeurat, Gadoeh Adat Pat Tamita'.
Baca juga: Pilkada Aceh Ditunda, Apa Karya: UUPA Nyan Kon Aneuk Miet Nyang Peuget
Baca juga: Aceh Sebaiknya Fokus pada Pilkada 2023, Pilkada dalam UUPA tak Bersifat Lex Specialist Utuh
Baca juga: Ghazali Abbas Minta DPRA Perjuangkan Kekhususan Aceh Pasal 192 UUPA, bukan Hanya Politik & Kekuasaan
Semangat itulah yang selalu mereka tanamkan untuk selalu merawat tradisi yang sudah ada.
Sama halnya dengan UUPA, bagi masyarakat awam, ada tidaknya UUPA juga tidak terlalu penting.
Termasuk UUPA sebagai dasar pelaksanaan pilkada. Karena siapapun yang terpilih, toh tidak akan berpengaruh bagi masyarakat.
Aceh tetap menjadi provinsi termiskin di Sumatera (BPS, 2020).
Pemikiran ini, saya yakin juga sama dengan apa yang ada dibenak para elite Pemerintahan Aceh.
Bagi DPRA, ada tidaknya UUPA, yang penting dana aspirasi (pokok pikiran/pokir) mereka tetap jalan.
Baca juga: Satu Gampong di Aceh Barat Ternyata tak Ada Penduduk Lagi, Ini Sebabnya
Baca juga: Kado Akhir Sebelum Pulkam ke Jateng, Kisah di Balik Penggerebekan Pasangan Selingkuh di Banda Aceh
Baca juga: Jika Tak Sahur dan Lupa Niat Puasa, Bagaimana? Sahkah Puasa, Simak Penjelasan Ustaz Ini
Begitu juga dengan eksekutif, yang terpenting bulanan mereka tetap mengalir.
Hanya saja, para petani lebih menghargai kekhususan yang ada, reusam gampong itu selalu mereka jaga dan dilestarikan.
Bahkan jika ada pihak yang mencoba mengganggu, maka ia harus siap menghadapi risikonya.
Beda halnya dengan para elite pemerintahan di Aceh, mungkin mereka beranggapan UUPA itu tidak terlalu penting, sehingga tidak terlalu dijaga.
Akibatnya satu per satu kekhususan Aceh di dalam UUPA hilang, karena berbenturan dengan aturan Pemerintah Pusat.
Lihat saja soal Pilkada Aceh. Awalnya KIP Aceh sudah menetapkan tahapan Pilkada Aceh dilaksanakan pada 2022.
Baca juga: Bahaya! Ini yang Terjadi pada Tubuh Jika Anda Tidak Makan Sayur, Sering Lelah hingga Mudah Lupa
Baca juga: Arab Saudi Garap Proyek Lembah Kuno di Madinah untuk Sektor Pariwisata Masa Depan
Baca juga: Berikut Bacaan Niat Sholat Tahajud di Bulan Ramadhan & Waktu yang Tepat Melaksanakannya
Hal itu sesuai dengan UUPA, dimana pergantian kepala daerah dilakukan setiap lima tahun sekali.
Anehnya, selang dua bulan KIP kembali menggelar rapat dan memutuskan Pilkada Aceh ditunda dari tahapan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Penundaan itu dilakukan karenakan tidak terlaksananya penandatanganan Naskah Perjanjian Hibah Aceh (NPHA) antara Pemerintah Aceh dengan KIP.
Pertanyaannya, penandatanganan NPHA tersebut kenapa bisa tidak terlaksana? Sesibuk apa Pemerintah Aceh?
Padahal jadwalnya sudah ditetapkan jauh hari sebelumnya.
Kita berpikir positif saja atas kejadian tersebut.
Baca juga: Si Penista Agama Jozeph Paul Pernah Jual Perangkat Komputer, Sempat Kontrak Rumah di Salatiga
Baca juga: Islamofobia Makin Meresahkan, Ulama Aceh: Islam Datang Asing, Akhir Zaman Juga Dianggap Asing
Baca juga: VIDEO - Ini Dia TOGG, Mobil SUV Pertama Turki yang Meriah Juara Desain Internasional
Mungkin Pemerintah Aceh takut, karena Pemerintah Pusat sudah mengesahkan UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
Dimana pada pasal 201 ayat 8 disebutkan bahwa pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024.
Sayangnya elite pemerintahan di Aceh telat menyadari jika memang pasal tersebut yang membuat UUPA terpangkas.
Pasalnya, UU tersebut sudah disahkan pada 2016, artinya banyak upaya yang seharusnya bisa dilakukan dalam kurun waktu tersebut. Baik langkah politik maupun upaya hukum.
Nah, yang terjadi dalam kurun 4 tahun tersebut, tidak ada upaya khusus yang dilakukan oleh Pemerintahan Aceh untuk menjamin bahwa Pilkada Aceh tetap dapat dilaksanakan pada 2022 sesuai UUPA.
Atas kondisi tersebut, saya rasa tidak salah jika banyak masyarakat yang berasumsi jika UUPA itu hanya sebagai alat untuk pemenuhan hasrat politik para elite saja.
Baca juga: Ikut Seleksi Timnas di Jakarta, PSSI Langsa Bantu Keberangkatan David Albayu
Baca juga: Mahasiswa Thailand Belajar ke Aceh, Saatnya Mengembalikan Pusat Studi Islam di Serambi Mekkah
Baca juga: Model Cantik Yaman Ancam Mogok Makan di Penjara Milisi Houthi
UUPA hanya digunakan untuk kepentingan-kepentingan politik tertentu. Jika tidak ada kepentingan mereka, maka UUPA akan di kesampingkan.
Padahal banyak sekali point-point UUPA yang dapat digunakan untuk mensejahterakan masyarakat Aceh.
Menarik mencermati ketika petinggi Partai Aceh (Mualem dan Abu Razak) ngotot agar Pilkada tetap dilaksanakan tahun 2022.
Padahal di sisi lain, Ketua DPR Aceh dari periode 2016 sampai sekarang itu merupakan kadernya Partai Aceh.
Begitu juga anggota dewan di DPRA yang didominasi kader Partai Aceh.
Saya rasa tidak salah jika sesekali Mualem dan Abu Razak melakukan evaluasi terhadap para kadernya di Gedung Dewan.
Baca juga: Terungkap, Ternyata Seorang Ayah di Aceh Jaya Sudah 10 Kali Cabuli Anak Kandungnya di Tempat Berbeda
Baca juga: Satu Lagi Pemain Persiraja Pergi, Adam Mitter tak Kembali: Saya Sekarang Penggemar Persiraja
Baca juga: Arab Saudi Segera Buka Kembali Masjid Kuno, Seusai Renovasi Rampung Dikerjakan
Evaluasi terhadap apa sebenarnya yang mereka kerjakan mereka selama ini.
Memang dana Pokir itu perlu, tapi UUPA juga sangat penting dalam menjaga keistimewaan dan kehususan Aceh sebagaimana amanah perdamaian.
UUPA juga menyangkut hasrat hidup orang banyak. Apalagi UUPA itu didapatkan setelah begitu banyak korban jiwa dan anak syuhada di Aceh.
Atas dasar tersebut, saya rasa sudah seharusnya Mualem mengevaluasi Alat Kelengkapan Dewan (AKD) demi integritas lembaga dewan dan marwah Aceh di mata Pemerintah Pusat
Seandainya kader yang sekarang diberikan amanah tidak mampu bekerja dengan baik, alangkah baiknya digantikan dengan kader lain yang dianggap lebih mampu.
Jika kita lihat kondisi Aceh hari ini, dan ingin membandingkan siapa yang paling serius merawat kekhususan Aceh, maka menurut saya para petani jauh lebih serius dari pada elite politik di Aceh.
Baca juga: Dua Remaja Pencari Sumbangan Ditangkap Warga Gampong Baro, Kedapatan Membeli Mi di Siang Hari
Baca juga: Adam Mitter Pastikan Tidak Kembali ke Persiraja pada Musim 2021 Saya Sekarang Penggemar Persiraja
Baca juga: VIDEO Masjid Ridha Jeumpa Bireuen Dibangun Tahun 1960, Dulunya dari Kayu Sekarang Berubah Megah
Terlebih kondisi dewan sekarang seperti kehilangan peran dan fungsinya, seakan tugas mereka hanya memikirkan dana Pokir semata.
Bahkan kadang mereka berani ribut jika ‘tumpok’ tersebut tidak pas. Tapi jika persoalan lain, mereka lebih rileks dan seperti tidak punya tanggung jawab apapun.
Seyogyanya mereka harus lebih serius menjaga dan merawat UUPA, jangan justru saling melempar tanggung jawab.
Soal pilkada misalnya, jika memang kendalanya ada di gubernur, pertanyaan berikutnya, langkah apa yang sudah mereka tempuh terhadap gubernur?
Dan jika kendalanya di dasar hukum, langkah apa yang sudah mereka lakukan untuk mendapatkan hukum yang adil bagi kekhususan Aceh?
Begitu juga jika kendalanya jika di Pemerintah Pusat, langkah politik apa yang sudah ditempuh selama ini?
Apakah Komisi 1 DPR Aceh sudah mendirikan tenda dikantor Mendagri atau lain sebagainya?
Baca juga: Kisah Pemuda 28 Tahun Nikahi PNS 53 Tahun dengan Mahar Rp 173.000: Dia Hadiah Ultah Terindah
Baca juga: Para Ekspatriat Hadapi Penantian Menyakitkan Selama Ramadan, Arab Saudi Masih Tunda Penerbangan
Baca juga: Badan Amal Ehsan Arab Saudi Berhasil Kumpulkan Sumbangan Rp 1 Triliun, Hanya Dalam 24 Jam
Jika persoalan pelaksanaan Pilkada Aceh harus menunggu keputusan Presiden, maka dapat dipastikan begitu lemahnya komunikasi Pemerintahan Aceh (legislatif dan eksekutif).
Jadi sangat wajar satu per satu kekhususan Aceh dalam UUPA menghilang akibat kelemahan dan kelalaian kita sendiri.
Terkait persoalan tersebut, dengan kondisi masyarakat yang semakin hari semakin tercerdaskan, maka saya kira elite pemerintahan di Aceh tidak perlu susah-susah mencari alasan.
Cukup mengaku saja bahwa selama ini mereka lalai, sibuk main ‘Scatter’ sehingga tidak sempat memikirkan UUPA.
Saya menyarankan kepada DPR Aceh agar UUPA tetap terjaga, khanduri blang sebaiknya dapat dimasukkan menjadi salah satu poin penting dalam UUPA.
Mengingat momentum khanduri blang lebih sering terjadi dari pada Pilkada yang hanya dilaksanakan lima tahun sekali.
Baca juga: VIDEO - 6 Tahun Tak Punya Tetangga, Pemilik Rumah: Sunyi Tenteram, Jauh dari Ghibah
Baca juga: Lusinan Karpet Terbaik Dunia Menutupi Lantai Kamar Nabi Muhammad di Masjid Nabawi
Baca juga: Diduga Seludupan dari Malaysia, TNI AL Amankan 100 Kg Sabu dan Ekstasi, Dua Pelaku Dibekuk
Hal ini bertujuan agar kesaktian UUPA tidak mati di usianya yang begitu muda.
*) PENULIS adalah Koordinator Lingkar Publik Strategis.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
ARTIKEL KUPI BEUNGOH LAINNYA ADA DI SINI