Kupi Beungoh
Kuasa Aceh: SBY dan Pertanyaan Nabi Musa kepada Nabi Khaidir - Bagian II
Lingkaran inti SBY juga menyebutkan penunjukan Mustafa lebih ditujukan sebagai penguatan moral masyarakat Aceh.
Oleh: Ahmad Humam Hamid*)
Ketka SBY mengangkat Mustafa Abubakar sebagai pejabat gubernur, Aceh juga tak kurang kondisi kritisnya.
Aceh menghadapi dua front sekaligus.
Status operasi militer yang diterapkan oleh rezim pemerintah Megawati, dan musibah tsunami skala global yang memakan korban manusia ratusan ribu orang, juga menghancurkan kehidupan dan penghidupan masyarakat Aceh.
Skala kompleksitas yang dihadapi SBY saat itu juga sangat tinggi.
Operasi militer yang tak jelas kapan berakhir, serta krisis kemanusiaan yang mendapat perhatian luar biasa dari dunia internasional.
Tak heran, permulaan perhatian global untuk Aceh dimulai dengan lego jangkar armada Samudra Pasifik milik AS, yakni kapal induk kelas Nimitz, USS Abraham Lincoln di lepas Pantai Aceh.
Tidak cukup dengan itu, segera saja satu dua helikopter Chinook dan awaknya mulai mendarat di beberapa tempat di Aceh.
Aceh yang saat itu gubernurnya Abdullah Puteh ditangkap KPK, dan dilanjutkan oleh Azwar Abubakar mendapat perhatian sangat khusus dari presiden SBY.
Baca juga: Kuasa Aceh: Apa Beda Gus Dur, SBY, Jokowi - Bagian I
Tak lama kemudian, ketika masa Azwar berakhir, SBY harus mencari orang yang tepat untuk memimpin transisi Aceh dari tsunami dan pemilihan gubernur baru untuk masa satu tahun.
Lagi-lagi logika yang digunakan SBY seharusnya sepenuhnya bersandar pada pertimbangan security-kemanan, dan disaster- bencana.
Ini artinya, posisi pejabat gubernur sangat ideal diberikan kepada seorang perwira tunggi yang mumpuni dan berintegritas.
Pejabat itu juga idealnya, disamping mengerti perang gerilya, juga harus mampu membangun Aceh dari puing-puing kehancuran.
Tidak hanya itu, sang pejabat yang ditunjuk juga juga harus punya wawasan dan kemampuan komunikasi yang handal dengan komunitas masyarakat internasional yang membantu Aceh pada masa itu.
Semua kualifikasi itu ada pada sejumlah perwira tinggi TNI, dan tak ada yang dapat membantah, jika saja SBY mengambil keputusan itu.
Alih-alih mencari perwira tinggi TNI untuk menjadi pemimpin transisi di Aceh, SBY justru menunjuk Mustafa Abubakar, Irjen Departemen Kelautan dan Perikanan yang baru saja menjabat sekitar dua tahun lebih.
Mustafa sama sekali tak punya pengalaman dan pengetahuan tata pemerintahan, tapi SBY percaya pada leadership, kesabaran, dan ketrampilan Mustafa dalam mengurus Aceh.
Lingkaran inti SBY juga menyebutkan penunjukan Mustafa lebih ditujukan sebagai penguatan moral masyarakat Aceh.
Baca juga: Benarkah Soekarno Mengkhianati Aceh dengan Membubarkan Provinsi Aceh?
SBY diceritakan ingin menunjukkan kepercayaan pemerintah pusat kepada Aceh, bahwa tantangan dan kompleksitas yang dihadapi daerah pada saat itu akan dapat diselesaikan di bawah kepemimpinan “orang Aceh” sendiri.
Ada pertimbangan sosiologis, dan psikologs masyarakat Aceh yang sangat kental, yang menjadi perhatian pemimpin bangsa itu.
Prinsip dan asumsi SBY terbukti sangat valid.
Tak ada yang membantah, setahun Mustafa memerintah Aceh ia menyelesaikan banyak sekali persoalan krusial sampai terpilihnya gubernur Irwandi Yusuf pada tahun 2007.
Ia mampu bekerja sama dengan Kepala BRR, Kuntoro Mangkusubroto, mempersiapkan pra Otsus Aceh, berkontribusi untuk persiapan lapangan perdamaian via MoU Helsinki, dan menyukseskan Pilkada pertama Aceh pascakonflik.
Ketika masa Irwandi berakhir, timbul perdebatan ketika Partai Aceh tidak mau menerima salah satu pasal UU No 11/2007 tentang calon gubernur, bupati, wali kota independen.
Baca juga: Konsep Unitaris dan Dalang di Balik Pembubaran Provinsi Aceh – Bagian Terakhir
Pihak yang bertikai tak lain sesama kombatan sendiri- Zaini Abdullah vs inkumben Irwandi Yusuf.
Masa itu juga dianggap masa kritis dan akhirnya Zaini cs mengakui pasal tersebut.
Akibat pertentangan itu Pilkada Aceh diundurkan 6 bulan, dan masa krisis 6 bulan itu diserahkan kepada Tarmizi Karim, putera Lhoksukon yang menduduki jabatan salah satu eselon I di Depdagri.
Tarmizi juga menyelesaikan misi yang diberikan oleh pemerintah SBY-JK dengan baik sekali.
Pada 2017, Jokowi menunjuk Sudarmo menjadi pejabat gubernur sebelum Irwandi Yusuf terpilih untuk masa waktu enam bulan.
Hal itu sebenarnya, bukan hal baru, karena pernah terjadi ketika presiden Suharto berkuasa pada tahun 1982.
Suharto menunjuk pejabat gubernur spesialis, Eddy Sabara, ketika gubernur Majid Ibrahim meninggal.
Penunjukan Eddy oleh pak Harto juga mempunyai cerita khusus.
Baca juga: Menyoal Dalang di Balik Pembubaran Provinsi Aceh - Bagian 1
Perintah pak Harto untuk mencari pejabat Aceh eselon I di Depdagri, tidak terpenuhi, karena memang hanya satu saja orang Aceh yang menduduki jabatan eselon 2, yakni bekas Wagub Aceh, Marzuki Nyakman.
Sama dengan Sudarmo, Eddy juga menjabat sekitar 6 bulan menunggu terpilihnya gubernur baru-Irwandi Yusuf.
Penunjukan Marzuki menjadi pejabat gubernur pada Juli 2022, dalam konteks periode, bukanlah sesuatu yang biasa seperti penunjukan sebelumnya, bahkan ketika presiden Soekarno berkuasa.
Sekalipun namanya pejabat gubernur, namun masa tunggu Aceh mendapatkan gubernur baru akan terjadi pada akhir tahun 2024, bahkan bisa melangkah sampai awal tahun 2025.
Jika melihat kepada durasi waktu yang ditempuh, maka dipastikan tidak kurang, bahkan lebih dari setengah periode masa kepemimpinan gubernur yang terpilih secara formal.
Dapat dipastikan orang yang dipilih pada satu tahun periode pertama akan dapat dilanjutkan, jika saja “missi” dan tugas yang diberikan dapat dianggap terpenuhi.
Dan itu telah terbukti dengan perpanjangan masa tugas Marzuki yang baru saja terjadi beberapa hari lalu, dengan penilaian publik yang beragam.
Baca juga: Banjir Sarjana, Kering Lapangan Kerja
Apapun alasannya, dengan masa tugas dua periode pendek satu tahun, dan kemungkinan ektensi enam bulan, apa esensi pekerjaan dan judul yang pantas untuk posisi itu.
Judul atau nama yang layak diberikan adalah pejabat gubernur “rasa gubernur”.
Ini adalah sebuah jabatan yang paling strategis, apalagi untuk Aceh yang baru saja keluar dari konflik.
Tidak hanya itu, secara umum, Aceh juga telah lima belas tahun diperintah kelompok yang pernah berseberangan dengan pemerintah pusat.
Para eks kombatan telah menjadi penguasa di hampir semua tempat di Aceh, termasuk di level provinsi.
Saat ini, dari segi keamanan dan ancaman ideologi, Aceh sedikitpun tidak bermasalah.
Bahkan ada sejumlah kecil pentolan eks kombatan yang nasionalismenya sudah “overdosis”, yang ketika melihat tingkah dan ucapannya saat konflik, sama sekali terbalik 180 derajat dengan ucapan dan perbuatannya pada hari ini.
Jika amatan tentang situasi keamanan dan ancaman ideologi benar seperti yang telah disebutkan di atas, lalu kenapa Presiden Jokowi tidak memilih putera Aceh sebagai pejabat gubernur untuk masa dua setengah tahun itu?
Apa yang membuat Jokowi berbeda, dan bahkan berbeda sangat nyata dibandingkan dengan Presiden Gus Dur dan SBY dalam hal penunjukan pejabat gubernur Aceh?
Ketika seorang penulis menggunakan istilah “jalur konstitusional” dalam penunjukan pejabat gubernur Aceh, maka ia tidak hanya benar, dan bahkan sangat benar dengan alasan itu.
Apalagi ketika ditambahkan ada sebuah proses “litsus” kelembagaan terkait, yang kemudian diputuskan oleh sang presiden.
Ketika keputusan itu terletak di tangan presiden, maka jelas akhirnya itu adalah hak preogratif presiden, dalam hal ini Presiden Jokowi.
Jika penunjukan itu sampai kepada “kewenangan presiden”, posisi pejabat gubernur itu menjadi keputusan politik.
Barangkali karena itu keputusan politik, maka “muatan politik” yang menyertai penunjukan itu dalam beberapa hal akan berada dalam sebuah tarikan garis horizontal politik yang sangat kental dan sangat tidak kental.
Sekalipun Aceh seperti yang telah dijelaskan di atas sudah aman dan ok, akan tetapi klasifikasi sangat kental politis sangat nyata.
Hal itu pula yang kemudian dapat diabaca awam, tentang penunjukan pejabat gubernur Papua Barat menggantikan putera Papua asli Dominggus Mandacan.
Pejabat penggantinya diserahkan kepada putera Fakfak asli, Paulus Waterpauw, seorang Pati Polri pensiun, yang juga Deputi Bidang Pengelolaan Potensi Kawasan Perbatasan BNPP, Depdagri.
Memang banyak provinsi lain di Indonesia yang mempunyai pejabat yang ditunjuk presiden yang bukan orang daerah.
Hal yang seperti ini juga tentu mempunyai muatan politik tersendiri yang tidak dapat dibantah.
Menjadi pejabat gubernur, bahkan gubernur sekalipun, orang non daerah juga sudah biasa semenjak zaman dulu, bahkan ketika Suharto berkuasa.
Hampir semua provinsi di Kalimantan, NTB, Lampung, Riau, dan Bengkulu mendapatkan gubernur selama lebih dari 25 tahun, bukan orang daerah, dan umumnya perwira tinggi TNI.
Sebaliknya, di Aceh, selama masa Suharto dari tujuh gubernur yang “ditunjuk” Suharto dan dipilih DPRD, enam diantaranya adalah putra Aceh, dengan pengecualian satu orang, Eddy Sabara-ia ditunjuk, yang menjadi pejabat gubernur kurang dari enam bulan, menunggu terpilihnya Hadi Thayeb.
Fatsun politik Suharto ini kemudian dilanjutkan Gus Dur dan SBY, dalam penunjukan pejabat gubernur.
Yang menjadi pertanyaannya kemudian apa yang membuat Waterpauw menjadi istimewa dibandingkan dengan pejabat gubernur di sejumlah provinsi lain, terutama Aceh.
Bahkan dalam hal penunjukan orang Aceh menjadi gubernur sekalipun-ketika Suharto berkuasa, termasuk ketika Gus Dur dan SBY seperti sudah “melembaga”.
Hal itulah yang sangat berobah secara diametral ketika Jokowi berkuasa.
Ketika Jokowi mengirim Sudarmo pada saat pergantian Zaini ke Irwandi mungkin saja sesuatu yang tidak perlu diperhitungkan, karena hanya 6 bulan saja.
Sebaliknya ketika ada pejabat gubernur Aceh yang potensi masa jabatannya mencapai paling kurang setengah periode gubernur resmi, hal itu tentu patut dipertanyakan.
Walaupun tidak sangat sama, mungkin ini sejenis pertanyaan Nabi Musa kepada Nabi Khaidir.
Seperti diceritakan dalam kitab tafsir Ibnu Katsir, ketika Musa dan Khaidir berjalan di tepi laut, mereka menemukan perahu orang miskin.
Tanpa ba bi bu, Nabi Khaidir segera melubangi perahu, yang kemudian segera diprotes oleh Nabi Musa.
Khaidir segera menjawab.
Ia melobangi perahu itu untuk mencegah jika perahu itu utuh dan baik akan dirampas oleh raja yang zalim.
Musa kecil kemudian diam dan baru mengerti.
Ibnu Katsir dalam penjelasannya menyebutkan apa yang dipraktekkan oleh Khaidir adalah apa yang disebut dengan “ilmu hikmah”.
Rakyat Aceh tidak perlu bertanya lagi kepada Jokowi, karena apa yang telah ia putuskan sesuatu yang tidak pernah terbayangkan dalam imajinasi orang Aceh.
Penunjukan Marzuki yang sepertinya telah “menyimpang” dari kebiasaan presiden sebelumnya, kini tidak berlaku lagi.
Jangan-jangan Jokowi, atau sosok orang paling kuat disamping Jokowi, hanya mempraktekkan “ilmu hikmah” yang dimilkinya dalam ‘merawat” dan “menjaga” Aceh.(BERSAMBUNG)
*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.