Kupi Beungoh
KKN dan Kerusakan Lingkungan pada Sektor Pertambangan di Barat-Selatan Aceh
Di Aceh Selatan, deforestasi akibat berbagai penyebab (termasuk tambang) mencapai 1.357 ha tahun 2024, tertinggi di Aceh.
Meski jurnalis dan LSM terus mengecam, partai politik dan pejabat terpilih kadang menganggap isu lingkungan tidak “seksi” sehingga penanganannya mengendur.
Peran Pemangku Kepentingan Lokal dan Nasional
Berbagai pemangku kepentingan telah bersuara, namun aksinya masih belum konsisten mengatasi KKN dan dampak lingkungannya.
Pemerintah Aceh di bawah Penjabat Gubernur Achmad Marzuki telah membentuk Tim Evaluasi IUP Minerba untuk menilai pemenuhan kewajiban administratif, teknis, lingkungan, dan finansial pemegang IUP.
Langkah ini menunjukkan keseriusan pemerintah daerah menertibkan perizinan tambang. Namun, pemantauan di lapangan juga perlu dikuatkan.
Polda Aceh berulang kali menegaskan keseriusan menindak tambang ilegal (43 tersangka ditetapkan tahun 2021), namun Kapolda mengakui penambang tetap berani beraktivitas karena sulitnya mekanisme legal atau faktor ekonomi penduduk.
Hal ini menekankan perlunya pendekatan lintas sektoral: tidak cukup polisi, tetapi juga koordinasi dengan BKSD (hidrogeologi), instansi pertambangan, dan masyarakat sekitar.
Peran legislatif lokal juga penting. DPRK Nagan Raya dan Aceh Barat sering mendapat temuan tambang ilegal dan seharusnya mengawal penindakan hukum.
Misalnya, DPRK Nagan Raya menemukan pertambangan batubara ilegal di desa-desa sekitarnya, dan GeRAK mendorong anggota DPRK Aceh Barat melaporkan kasus-kasus gratifikasi ke aparat hukum. Partisipasi aktif DPRK dalam pengawasan mutasi izin tambang bisa mencegah praktik korup.
Sementara itu, LSM lingkungan seperti WALHI Aceh, HAkA, dan GeRAK gencar mengadvokasi penghentian penambangan ilegal dan penegakan hukum (mendorong penyegelan hingga gugatan hukum).
Walhi misalnya mendesak penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) agar tambang rakyat dapat diwadahi secara legal, sehingga masyarakat tidak terpaksa menambang secara ilegal.
Secara nasional, pemberlakuan Undang-Undang Minerba (UU 3/2020) mengatur larangan keras mining tanpa izin dan mewajibkan reklamasi.
Namun implementasi regulasi ini perlu diawasi secara transparan. Data resmi sering tersembunyi: misalnya Polda menyebut 10 kasus tambang ilegal (2021) dan sebagian pelaku sudah diproses, tapi WALHI mencatat tambang ilegal terus berkembang pesat (luasnya naik 19 persen dari tahun sebelumnya).
Dengan begitu banyak kepentingan ekonomi dan politik bertemu di sektor tambang, ketidaktransparanan (tidak terbukanya data IUP maupun proses lelang sumber daya) kerap memicu dugaan penyalahgunaan kekuasaan.
Rekomendasi Berbasis Data
Berdasarkan temuan data dan praktisi, perlu langkah-langkah terpadu untuk mitigasi kerusakan dan tata kelola tambang.
Beberapa rekomendasi antara lain, pertama adalah memperketat penegakan hukum dan transparansi perizinan.
Integritas dan Sistem Bercerai, Korupsi Berpesta |
![]() |
---|
Kemudahan Tanpa Tantangan, Jalan Sunyi Menuju Kemunduran Bangsa |
![]() |
---|
Memaknai Kurikulum Cinta dalam Proses Pembelajaran di MTs Harapan Bangsa Aceh Barat |
![]() |
---|
Haul Ke-1 Tu Sop Jeunieb - Warisan Keberanian, Keterbukaan, dan Cinta tak Henti pada Aceh |
![]() |
---|
Bank Syariah Lebih Mahal: Salah Akad atau Salah Praktik? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.