Kupi Beungoh
KKN dan Kerusakan Lingkungan pada Sektor Pertambangan di Barat-Selatan Aceh
Di Aceh Selatan, deforestasi akibat berbagai penyebab (termasuk tambang) mencapai 1.357 ha tahun 2024, tertinggi di Aceh.
Data menunjukkan penindakan tunggal tidak cukup. Harus ada kebijakan wajib mempublikasikan data IUP (luas, lokasi, pemegang) agar publik dan LSM dapat mengawasi (misalnya daftar IUP Aceh di situs Dinas ESDM).
Semua dugaan penyalahgunaan izin, kolusi, atau gratifikasi harus ditindak tegas sesuai UU Minerba dan KUHAP.
Kasus gratifikasi voucher dan pengunaan fasilitas negara oleh oknum harus menjadi pelajaran tegas bahwa penyalahgunaan wewenang harus diberantas.
Kedua, penegakan prinsip keberlanjutan dan tanggung jawab perusahaan. Semua pemegang IUP harus dipastikan menepati kewajiban lingkungan (reklamasi, AMDAL, dll.).
Perusahaan yang terbukti merusak kawasan hutan (misalnya wilayah DAS atau TNGL) harus dikenakan sanksi maksimal.
Selain itu, pertambangan rakyat (petani tambang) dapat diatur melalui skema Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) agar kegiatan berskala kecil tidak memicu kerusakan luas.
Dengan skema WPR, aktivitas pertambangan rakyat dapat dikendalikan di zona tertentu saja.
Ketiga adalah penguatan pengawasan multi-pihak dan restorasi lingkungan. Pemerintah daerah bersama Polda, Kejaksaan, dan KPH harus rutin monitoring daerah rawan pertambangan, memanfaatkan teknologi seperti satelit (global forest watch) dan drone.
Data HAkA menunjukkan deforestasi tinggi di kawasan KEL–TNGL dan Rawa Singkil, sehingga peringatan dini wajib diintegrasi dalam sistem pengawasan.
Seluruh izin tambang, terutama di areal kritis seperti hutan lindung, rawa, dan bantaran sungai, perlu dievaluasi ulang.
Pemulihan pasca-tambang juga krusial – perusahaan wajib melaksanakan reklamasi dan reboisasi.
Masyarakat terdampak (pembudidaya pertanian dan perikanan) harus dilibatkan dalam pemantauan, sebagaimana permintaan warga yang mengeluhkan sungai tercemar tambang.
Terkahir, penegakan antikorupsi dan akuntabilitas pemerintahan. Semua calon dan pejabat kepala daerah harus berkomitmen menolak KKN dalam tata kelola sumber daya alam.
Kebijakan ini meliputi pembatasan jabatan ganda (misalnya pejabat kementerian-lokal terlibat tambang), pembentukan pansus tambang di DPR Aceh, serta audit independen atas proses izin minerba.
Dana hasil tambang harus transparan penggunaannya agar tidak menjadi sumber korupsi.
Keterlibatan lembaga antikorupsi (KPK, aparat penegak hukum) serta media dan LSM sebagai “social watchdog” sangat diperlukan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan di sektor tambang.
Dengan langkah terpadu di atas, diharapkan kerusakan lingkungan akibat pertambangan di Barat Selatan Aceh dapat diminimalkan, sekaligus memutus rantai KKN yang selama ini mempersulit perbaikan tata kelola.
Model pengelolaan yang transparan, akuntabel, dan partisipatif (mulai dari izin hingga reklamasi) adalah kunci agar sumber daya mineral tidak menjadi malapetaka ekologis. (*)
*) PENULIS adalah geologist sekaligus dosen Universitas Syiah Kuala, pemerhati bidang energi, laut dan lingkungan.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
BACA TULISAN KUPI BEUNGOH LAINNYA DI SINI
Integritas dan Sistem Bercerai, Korupsi Berpesta |
![]() |
---|
Kemudahan Tanpa Tantangan, Jalan Sunyi Menuju Kemunduran Bangsa |
![]() |
---|
Memaknai Kurikulum Cinta dalam Proses Pembelajaran di MTs Harapan Bangsa Aceh Barat |
![]() |
---|
Haul Ke-1 Tu Sop Jeunieb - Warisan Keberanian, Keterbukaan, dan Cinta tak Henti pada Aceh |
![]() |
---|
Bank Syariah Lebih Mahal: Salah Akad atau Salah Praktik? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.