KUPI BEUNGOH
Aceh, Pemuda, dan Qanun yang Mati Muda
Qanun yang diharapkan menjadi tonggak kebangkitan generasi muda Aceh justru berubah menjadi simbol stagnasi birokrasi. Ia mati muda.
Semua pasal itu menggambarkan peta jalan pembangunan generasi muda yang mandiri secara ekonomi, memiliki akses modal, jejaring, dan kemitraan luas.
Namun karena tidak diikuti peraturan pelaksana, peta itu kini tak lebih dari arsip hukum yang tak punya arah di lapangan.
Ironisnya, semangat kemandirian yang diamanatkan qanun tersebut kini justru dikubur oleh kebijakan yang pasif.
Pemerintah Aceh seolah nyaman dalam kebisuan, membiarkan regulasi yang disahkan dengan susah payah itu membeku dalam lembaran dokumentasi.
Kekhususan Aceh yang semestinya memberi ruang luas untuk menata sistem kepemudaan khas daerah, malah terjebak dalam birokrasi yang enggan bergerak.
Kekhususan Tanpa Generasi
Aceh memiliki sejarah panjang tentang pentingnya peran pemuda dalam perubahan sosial.
Baca juga: Persoalan Koperasi Merah Putih di Aceh Utara dari Belum Ada Modal hingga Belum Disetujui Bermitra
Baca juga: Mualem Curhat Terowongan Geurutee ke Menteri PU, Ingin Ada Tol ke Barsela
Sejak masa perjuangan Teungku Chik di Tiro hingga periode perdamaian pasca MoU Helsinki, pemuda selalu menjadi sumber energi moral dan intelektual bagi bangsa Aceh.
Mereka bukan sekadar generasi pelanjut, melainkan agen perubahan yang melahirkan gagasan besar dan menegakkan harga diri daerah ini.
Namun kini, peran itu memudar. Di tengah kekhususan yang dijamin oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), generasi muda justru kehilangan tempatnya.
Tak ada lembaga khusus yang menampung aspirasi mereka, tak ada kebijakan komprehensif yang menyiapkan ruang partisipasi mereka dalam pembangunan daerah.
Data Badan Pusat Statistik Aceh tahun 2025 menunjukkan, tingkat pengangguran terbuka pemuda Aceh masih di atas rata-rata nasional.
Banyak sarjana muda terjebak dalam pekerjaan informal, sementara program pelatihan yang dijalankan pemerintah cenderung seremonial, sering kali tidak terhubung dengan kebutuhan industri dan dunia kerja.
Padahal Aceh memiliki potensi ekonomi besar naik di bidang energi, pertanian, perikanan, hingga pariwisata.
Semua sektor itu membutuhkan kreativitas dan tenaga muda, tetapi tidak satu pun yang benar-benar diintegrasikan dalam kebijakan kepemudaan.
Lebih memprihatinkan lagi, dalam dokumen-dokumen pembangunan seperti RPJMA, isu kepemudaan kerap disubordinasikan ke dalam subprogram olahraga atau kegiatan sosial tanpa orientasi jangka panjang.
Delky Nofrizal Qutni
Kupi Beungoh Delky Nofrizal Qutni
Qanun Kepemudaan
Qanun Kepemudaan Mati Muda
| Santri Dipuji di Podium, Diabaikan dalam Kebijakan |
|
|---|
| Misteri Dana Abadi Pendidikan Aceh: Triliunan Rupiah yang Mengendap Tanpa Manfaat |
|
|---|
| Timor Leste dan Tantangan Pendidikan di ASEAN 2025 |
|
|---|
| Pemuda dan Krisis Teladan: Siapa yang Layak Diteladani di Negeri yang Bising Ini? |
|
|---|
| Guru Dayah OD Indrapuri Aceh Besar Ciptakan Kamus Indonesia-Arab-Inggris yang Dicetak Puluhan Kali |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.