KUPI BEUNGOH
Aceh, Pemuda, dan Qanun yang Mati Muda
Qanun yang diharapkan menjadi tonggak kebangkitan generasi muda Aceh justru berubah menjadi simbol stagnasi birokrasi. Ia mati muda.
Ini menandakan betapa pembangunan pemuda di Aceh belum dipandang sebagai investasi strategis. Pemuda masih dianggap peserta kegiatan, bukan subjek perubahan.
Baca juga: Waspada! Dinkes Sebut dari Hasil Skrining, Ribuan Orang Dicurigai Berisiko Idap Talasemia di Aceh
Baca juga: Ancam Penerbangan, Dishub Aceh Imbau Warga Tak Main Layangan di Area Bandara
Padahal dalam pandangan filosofis Aceh, generasi muda adalah pewaris nilai dan penyangga masa depan.
Ungkapan ‘Adat bak Poteu Meureuhom, Hukom bak Syiah Kuala’ mencerminkan keseimbangan antara kekuasaan dan moralitas, dimana pemuda berada di tengahnya, sebagai penghubung antara nilai lama dan tantangan baru.
Bila mereka dibiarkan tanpa arah, maka terputuslah mata rantai kebudayaan dan cita-cita Aceh itu sendiri.
Saatnya Menghidupkan Kembali Roh Qanun Kepemudaan Qanun Nomor 4 Tahun 2018 sejatinya bukan hanya regulasi, tetapi kontrak moral antara pemerintah dan generasi mudanya.
Ia adalah janji bahwa Aceh akan membangun masa depan berdasarkan nilai-nilai sendiri, dengan pemuda sebagai pelaku utama. Namun janji itu kini menggantung di udara, tanpa wujud nyata.
Sudah saatnya Pemerintah Aceh berhenti menjadikan pemuda sekadar bahan retorika setiap peringatan Hari Sumpah Pemuda. Yang dibutuhkan kini adalah keberanian politik untuk menghidupkan kembali roh qanun tersebut.
Pemerintah Aceh mesti segera menerbitkan peraturan pelaksana, membentuk Lembaga Permodalan Kewirausahaan Pemuda (LPKP), serta menjadikan indikator pembangunan pemuda sebagai bagian integral dalam RPJMA dan pengelolaan dana otonomi khusus.
Sebab tanpa tindakan nyata, kekhususan Aceh hanya akan menjadi slogan tanpa isi. Qanun yang mati muda ini adalah potret dari bagaimana cita-cita besar bisa gagal hanya karena birokrasi kehilangan nyali.
Aceh yang istimewa semestinya melahirkan pemuda yang luar biasa, bukan generasi yang menunggu bantuan, melainkan yang diberi ruang untuk berkarya dan memimpin perubahan.
Bila pemerintah terus abai terhadap amanah ini, maka Aceh sedang menulis bab kelam dalam sejarahnya sendiri, tentang sebuah qanun yang mati muda, dan tentang sebuah generasi yang dibiarkan kehilangan arah di tanahnya yang disebut istimewa.
*) PENULIS adalah salah satu pejuang lahirnya Qanun Pembangunan Kepemudaan Aceh, Mantan Kabid Advokasi FPMPA dan Ketua Aceh Kreatif.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca juga: Lewat Perusahaan Japex dan Jogmec, Jepang Lirik Migas di Laut Andaman Aceh
Baca juga: Korupsi Kereta Cepat Whoosh, Mahfud MD Ungkap 3 Menteri Jokowi Jilid Pertama Bisa Diperiksa KPK
Delky Nofrizal Qutni
Kupi Beungoh Delky Nofrizal Qutni
Qanun Kepemudaan
Qanun Kepemudaan Mati Muda
| Santri Dipuji di Podium, Diabaikan dalam Kebijakan |
|
|---|
| Misteri Dana Abadi Pendidikan Aceh: Triliunan Rupiah yang Mengendap Tanpa Manfaat |
|
|---|
| Timor Leste dan Tantangan Pendidikan di ASEAN 2025 |
|
|---|
| Pemuda dan Krisis Teladan: Siapa yang Layak Diteladani di Negeri yang Bising Ini? |
|
|---|
| Guru Dayah OD Indrapuri Aceh Besar Ciptakan Kamus Indonesia-Arab-Inggris yang Dicetak Puluhan Kali |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.