Kupi Beungoh
Kuasa Aceh: SBY dan Pertanyaan Nabi Musa kepada Nabi Khaidir - Bagian II
Lingkaran inti SBY juga menyebutkan penunjukan Mustafa lebih ditujukan sebagai penguatan moral masyarakat Aceh.
Jika amatan tentang situasi keamanan dan ancaman ideologi benar seperti yang telah disebutkan di atas, lalu kenapa Presiden Jokowi tidak memilih putera Aceh sebagai pejabat gubernur untuk masa dua setengah tahun itu?
Apa yang membuat Jokowi berbeda, dan bahkan berbeda sangat nyata dibandingkan dengan Presiden Gus Dur dan SBY dalam hal penunjukan pejabat gubernur Aceh?
Ketika seorang penulis menggunakan istilah “jalur konstitusional” dalam penunjukan pejabat gubernur Aceh, maka ia tidak hanya benar, dan bahkan sangat benar dengan alasan itu.
Apalagi ketika ditambahkan ada sebuah proses “litsus” kelembagaan terkait, yang kemudian diputuskan oleh sang presiden.
Ketika keputusan itu terletak di tangan presiden, maka jelas akhirnya itu adalah hak preogratif presiden, dalam hal ini Presiden Jokowi.
Jika penunjukan itu sampai kepada “kewenangan presiden”, posisi pejabat gubernur itu menjadi keputusan politik.
Barangkali karena itu keputusan politik, maka “muatan politik” yang menyertai penunjukan itu dalam beberapa hal akan berada dalam sebuah tarikan garis horizontal politik yang sangat kental dan sangat tidak kental.
Sekalipun Aceh seperti yang telah dijelaskan di atas sudah aman dan ok, akan tetapi klasifikasi sangat kental politis sangat nyata.
Hal itu pula yang kemudian dapat diabaca awam, tentang penunjukan pejabat gubernur Papua Barat menggantikan putera Papua asli Dominggus Mandacan.
Pejabat penggantinya diserahkan kepada putera Fakfak asli, Paulus Waterpauw, seorang Pati Polri pensiun, yang juga Deputi Bidang Pengelolaan Potensi Kawasan Perbatasan BNPP, Depdagri.
Memang banyak provinsi lain di Indonesia yang mempunyai pejabat yang ditunjuk presiden yang bukan orang daerah.
Hal yang seperti ini juga tentu mempunyai muatan politik tersendiri yang tidak dapat dibantah.
Menjadi pejabat gubernur, bahkan gubernur sekalipun, orang non daerah juga sudah biasa semenjak zaman dulu, bahkan ketika Suharto berkuasa.
Hampir semua provinsi di Kalimantan, NTB, Lampung, Riau, dan Bengkulu mendapatkan gubernur selama lebih dari 25 tahun, bukan orang daerah, dan umumnya perwira tinggi TNI.
Sebaliknya, di Aceh, selama masa Suharto dari tujuh gubernur yang “ditunjuk” Suharto dan dipilih DPRD, enam diantaranya adalah putra Aceh, dengan pengecualian satu orang, Eddy Sabara-ia ditunjuk, yang menjadi pejabat gubernur kurang dari enam bulan, menunggu terpilihnya Hadi Thayeb.
Fatsun politik Suharto ini kemudian dilanjutkan Gus Dur dan SBY, dalam penunjukan pejabat gubernur.
Yang menjadi pertanyaannya kemudian apa yang membuat Waterpauw menjadi istimewa dibandingkan dengan pejabat gubernur di sejumlah provinsi lain, terutama Aceh.
Bahkan dalam hal penunjukan orang Aceh menjadi gubernur sekalipun-ketika Suharto berkuasa, termasuk ketika Gus Dur dan SBY seperti sudah “melembaga”.
Hal itulah yang sangat berobah secara diametral ketika Jokowi berkuasa.
Ketika Jokowi mengirim Sudarmo pada saat pergantian Zaini ke Irwandi mungkin saja sesuatu yang tidak perlu diperhitungkan, karena hanya 6 bulan saja.
Sebaliknya ketika ada pejabat gubernur Aceh yang potensi masa jabatannya mencapai paling kurang setengah periode gubernur resmi, hal itu tentu patut dipertanyakan.
Walaupun tidak sangat sama, mungkin ini sejenis pertanyaan Nabi Musa kepada Nabi Khaidir.
Seperti diceritakan dalam kitab tafsir Ibnu Katsir, ketika Musa dan Khaidir berjalan di tepi laut, mereka menemukan perahu orang miskin.
Tanpa ba bi bu, Nabi Khaidir segera melubangi perahu, yang kemudian segera diprotes oleh Nabi Musa.
Khaidir segera menjawab.
Ia melobangi perahu itu untuk mencegah jika perahu itu utuh dan baik akan dirampas oleh raja yang zalim.
Musa kecil kemudian diam dan baru mengerti.
Ibnu Katsir dalam penjelasannya menyebutkan apa yang dipraktekkan oleh Khaidir adalah apa yang disebut dengan “ilmu hikmah”.
Rakyat Aceh tidak perlu bertanya lagi kepada Jokowi, karena apa yang telah ia putuskan sesuatu yang tidak pernah terbayangkan dalam imajinasi orang Aceh.
Penunjukan Marzuki yang sepertinya telah “menyimpang” dari kebiasaan presiden sebelumnya, kini tidak berlaku lagi.
Jangan-jangan Jokowi, atau sosok orang paling kuat disamping Jokowi, hanya mempraktekkan “ilmu hikmah” yang dimilkinya dalam ‘merawat” dan “menjaga” Aceh.(BERSAMBUNG)
*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.