Kupi Beungoh

Kisah Ashabul Kahfi dan Sejarah Pembubaran Provinsi Aceh

Karena Beureu’eh melakukan sebuah kesalahan yaitu melawan pemerintahan yang sah pada 20 September 1953. Tentu ada alasan yang kuat di balik perlawana

Editor: Muhammad Hadi
FOR SERAMBINEWS.COM
Muhammad Nur, Dosen Sejarah di Universitas Serambi Mekkah, Banda Aceh 

Maka dalam ayat ke-21 pada Surat Al Kahfi, Allah swt menyatakan bahwa dipertemukannya Ashhabul Kahf dengan penduduk kota Ephesus itu supaya mereka mengetahui dengan yakin bahwa janji Allah itu benar dan kedatangan hari kiamat (hari kebangkitan) tidak diragukan lagi.

Setelah pertemuan antara raja dan pemuka masyarakat dengan Ashhabul Kahf itu berakhir, maka Ashhabul Kahf kembali ke tempat persembunyiannya.

Pada waktu itulah, Allah swt mencabut roh mereka untuk diangkat ke sisi-Nya.

Kemudian raja dan para pemuka masyarakat itu mengadakan musyawarah.

Mereka ingin memuliakan Ashhabul Kahfi dan kemudian mendirikan sebuah bangunan rumah ibadah di sekitar lokasi itu.

Masa Depan tak Lepas dari Masa Lalu

Dari kisah para Ashabul Kahfi ini, dapat disimpulkan bahwa masa depan tidak bisa dibangun tanpa melibatkan masa lalu.

Kisah Ashabul Kahfi yang terjadi jauh di ujung dunia dan sudah berusia ribuan tahun lamanya, masih diceritakan hingga ke titik nol kilometer, Sabang, Aceh, Indonesia.

Penting untuk diketahui, masa lalu adalah salah satu metafisik yang mudah diukur dalam dimensi sejarah.

Karena semua gerakan di dunia ini selalu berpijak kepada pondasi sejarah sebagai alasan utama untuk bergerak, termasuk dimensi pergolakan sejarah Aceh dalam hubungannya dengan NKRI, seperti yang telah dituliskan oleh Prof. Dr. Humam Hamid, Guru Besar Universitas Syiah Kuala.

Kesadaran sejarah perlu dirawat dan dibangun agar narasi sejarah terus hidup dan berkembang baik narasi yang bersumber dari sebuah peristiwa, sebuah simbol, tokoh, individu, kelompok, ataupun ideologi- ideologi tertentu.

Kesadaran sejarah merupakan bentuk validasi yang sedang hidup dan bergerak, ia tidak bisa dilihat, disentuh, atau diraba.

Tapi dia bisa bergerak melahirkan akibat baik buruknya sehingga divonis secara hukum sejarah, biasanya setelah hukum sejarah disematkan kepada seseorang individu, kelompok atau negara, maka hidupnya akan berakhir, tamat dan selesailah riwayatnya.

Misalnya lihat saja bagaimana ketika sejarah Uni Soviet dihukum Amerika Cs karena kalah dalam perang dingin pasca perang dunia kedua, 1939- 1945.

Baca juga: Konsep Unitaris dan Dalang di Balik Pembubaran Provinsi Aceh – Bagian Terakhir

Uni Soviet hancur berkeping-keping, hingga terasa hancur sampai sekarang, dengan memunculkan kembali semangat perang Ukraina-Rusia, 2022. 

Lalu bagaimana Orde Baru menghukum Orde Lama, sampai tiga puluh tahun lamanya, (1969- 1998).

Selanjutnya, lalu bangaimana nasib Saddam Husein yang digantung mati Amerika Cs karena dituduh diktator dan melakukan kejahatan kemanusian di Irak.

Saddam di gantung dengan diikat tali di lehernya pada tanggal 30 Desember 2006, tepatnya pada hari Rada Idul Adha.

Semua peristiwa sejarah diatas ini ditulis dalam tinta emas sejarah penguasa dan mereka kemudian diberikan label “khusus” yang melekat dengannya masing- masing.

Singkatnya, ketika stigma sejarah dilabelkan seperti dalam kasus-kasus di atas ini, maka sulit sekali untuk dihapuskan, melekat dan dibawa sampai mati dan bahkan sampai sesudah mati.

Misalnya seperti sosok Teungku Muhammad Daod Bereu’eh yang telah berjasa besar dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini pada 17 Agustus 1945, sesudah meninggal sekalipun, nama beliau tetap dikenang sebagai tokoh pemberontakan dari Aceh.

Mengapa demikian?

Karena Beureu’eh melakukan sebuah kesalahan yaitu melawan pemerintahan yang sah pada 20 September 1953.
Tentu ada alasan yang kuat di balik perlawanan Beureu’eh.

Padahal jika dilihat dari jasa dan sumbangsihnya selama hidup, sebelum dan selama masa- masa revolusi fisik, nilai sejarah Beureu’eh, darah Bereu’eh, air mata Beureu’eh, harta benda Beureu’eh, tenaga Beureu’eh, pikiran Beureu’eh dan bahkan nyawa Beureu’eh melebihi nilai rata-rata dan bobot tokoh nasional lainya yang telah ditetapkan pemerintah sebagai pahlawan nasional (Humam Hamid, Media Serambi Indonesia, 19/1/2023).

Demikian juga dengan tokoh-tokoh lain di belahan tanah air ini, seperti misalnya, Syafruddin Prawiranegara sebagai Kepala Pemerintahan PDRI masa itu (19 Desember 1948),  Mr. Assat, Presiden RI masa itu (27 Desember 1949), Muhammad Natsir sebagai Perdana Menteri NKRI masa itu (7 September 1950), dan Aidit Dipa Nusantara dalam sejarah PKI (1965), dan lain- sebagainya.

Dua dari empat tokoh ini, kemudian memberontak melawan pemerintah melalui gerakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) pada tahun 1957.

Hasilnya, mereka kemudian dicap sebagai musuh Negara, sehingga Syafruddin dan Assat tidak dianggap sebagai Presiden RI setelah Ir. Soekarno.

Padahal jasa Assat cukup besar ketika menduduki jabatan Presiden RI pada 27 Desember 1949, dia adalah orang yang berjasa dalam “membidani” lahirnya Kampus Universitas Gadjah Mada (UGM) yang kita kenal dewasa ini.

UGM adalah corong dan simbol nasionalis Republik Indonesia.

Maka, tidak mengakui Assat, sama juga dengan tidak mengakui UGM. 

Lain halnya dengan Syafruddin Prawiranegara yang membentuk pemerintahan PDRI di Bukit Tinggi, Padang, Sumatera Barat, pada 1948 setelah agresi militer kedua Belanda pada 19 Desember 1948.

Diketahui, tanpa tangan dingin dan andil Syafruddin Prawiranegara pada masa revolusi fisik tersebut, Indonesia ini adalah Negara yang tidak berkepala.

Karena Soekarno-Hatta telah ditangkap di Jogjakarta, lalu diasingkan ke Bangka Belitung, Sumatera Selatan.

Syafruddin juga tidak dianggap sebagai Presiden.

Karena apa? Jawabannya sederhana.

Karena ia terlibat dalam pemberontakan seperti Tgk. Muhammad Daud Beureu’eh.

Nasib yang sama juga dirasakan Muhammad Natsir.

Natsir adalah tokoh Masyumi, dan pernah menduduki jabatan sebagai Perdana Menteri  pertama NKRI pada tanggal 7 September 1950, setelah RIS bubar pada 15 Agustus 1950.

Aidit Dipa Nusantara yang terlibat dalam sejarah pemberontakan PKI pada 30 September 1965, juga bernasib sama, tidak dianggap sebagai tokoh nasional.

Kelima orang ini, sebelumnya adalah pejuang nasionalis dalam melawan eksistensi kolonial di Indonesia, mereka menentang Belanda membentuk “hegomoni” di Tanah Air ini secara turun temurun.

Mengapa bisa sedemikian berat putusan terhadap mereka-mereka ini?,

Karena sejarah adalah politik, politik adalah kebijakan, kebijakan adalah putusan, putusan adalah komunikasi.

Baca juga: Benarkah Soekarno Mengkhianati Aceh dengan Membubarkan Provinsi Aceh?

Politik dan sejarah adalah putusan yang tidak bisa dipisahkan, karena politik membicarakan sejarah, dan sejarah membicarakan politik.

Kedua ilmu ini bisa di ibaratkan seperti air dan gula, yang saling mewarnai dan saling membutuhkan.

Air tanpa di isi gula, ibarat kuah beulagong tanpa di isi garam, “tabeu”, hampar dan pudar, atau seperti uang logam dengan dua sisi yang berbeda, saling terkait dan saling berhubungan.

Perlu diketahui, putusan sejarah bisa berubah dengan keburukan dan kebaikan dalam sekejap mata, sekejap saat, sesuai dengan siapa yang sedang berkuasa.

Maka itu, “trah sejarah” adalah milik penguasa, milik pemenang perang, sementara kelompok yang “KO” perang, mewarisi  “trah” sebangai pecundang.

Pentingnya kesadaran sejarah

jika kesadaran sejarah tidak dibangun, maka sesungguhnya dia telah mati sebelum tiba waktunya.

Maka jangan heran jika dalam tulisan-tulisan sebelumnya penulis menyentil bahwa orang Aceh mengalami “sakit sejarah”.

Jika itu tidak diobati, maka kita akan menjadi generasi yang akan “melupakan” dan “mengulangi sejarah” yang sama.

Seperti istilah orang-orang kampung, lagei geulidee rhot dalam mon, (seperti keledai yang jatuh ke lobang yang sama).  

Gejala “sakit sejarah” ini bisa macam-macam, bisa alasan menabur rasa dendam, pengaruh berpikir materialisme, kuatnya anggapan bahwa sejarah tidak memiliki relevansi bagi kepentingan hidup masa kini dan masa depan, pesimisme terhadap masa depan dirinya, dan masih banyak alasan- alasan klasik lainya yang tidak mungkin penulis sebutkan satu per satu. 

Baca juga: Soal Penetapan Pj Gubernur, Prof Humam Nilai Penghinaan Terbesar Pusat untuk Aceh setelah Sukarno

Oleh karena itu, maka tidaklah heran jika kemudian ada pendapat yang mengatakan bahwa dunia sejarah di Aceh telah “stagnan” secara konseptual dan metodologis.

Karena sejarawan tidak memberikan kontribusi apapun dalam menyikapi isu- isu sejarah yang berkembang dan terus berproses selama ini di Aceh.

Setelah stagnan, menariknya lagi, muncul beberapa penulis yang mengangkat isu sejarah pasca Ahmad Marzuki dilantik sebagai PJ Gubernur Aceh, sepekan yang lalu.

Sejarah Pembubaran Provinsi Aceh

Isu sejarah di Aceh akan bersambut dengan isu pemilu serentak pada 2024 ini, yang dinilai sangat sengit dan kompetitif pada tahun mendatang ini. 

Di tengah hangatnya diskusi tersebut, lalu ada satu penulis yang kemudian menyebutkan bahwa Muhammad Natsir, Daud Beureu’eh dengan Masyuminya terlibat dalam pembubaran Provinsi Aceh seperti dalam sebuah artikel yang terbit di Media Serambi Indonesia pada /12/07/2023.

Fakta menunjukkan, Muhammad Natsir, diangkat sebagai PM pertama NKRI pada tanggal 7 September 1950, atau 23 hari setelah provinsi Aceh ini dibubarkan Presiden Assat, melalui undang- undang No. 5 tahun 1950.

Pembubaran Provinsi Aceh ini terjadi pada tanggal 14 Agustus 1950, keesokan harinya, pada15 Agustus 1950, giliran RIS yang membubarkan diri. Setelah RIS bubar, Indonesia kembali ke sistem pemerintahan NKRI.

Pertanyaan sederhananya untuk anak-anak sekolah enam SD, dimana peran Natsir dalam membubarkan provinsi Aceh?

Sementara antara tanggal 15 Agustus 1950 sampai dengan 6 september 1950, dia bukan presiden dan dia juga bukan sebagai perdana menteri di Republik ini.

Jadi, untuk memahami sejarah Aceh, harus dengan metodologi sejarah yang kuat, karena Aceh adalah daerah yang memiliki pondasi semangat nasionalisme yang tinggi di republik ini.

Sebagaimana yang telah diketahui, di luar artikel tersebut, umumnya dalam menafsir sebuah peristiwa sejarah, kadang-kadang banyak penulis yang menyilipkan data-data antitesa untuk membangun kontruksi politik sejarah baru dengan alasan-alasan tertentu.

Tujuannya macam-macam, salah satunya adalah untuk menghitamputihkan data sejarah yang sesungguhnya.

Maka itu, saya sering mengigatkan mahasiswa agar sebelum membaca sebuah karya tulisan sejarah, maka ada baiknya membaca dulu biografi penulis, sejarawankah dia atau politisikah dia.  

Baca juga: Pusat Studi Kebangsaan dan Pancasila Tepis Pernyataan Prof Humam Soal Soekarno Hapus Provinsi Aceh

Perlu diketahui, masa lalu tidak bisa dihapus oleh siapapun dengan alasan apapun, apalagi ada upaya untuk mengaburkan fakta-fakta sejarah untuk kepentingan kekuasaan untuk melahirkan  kekuasaan yang barunya lagi.

Penghapusan atau pengaburan fakta sejarah masa lalu tidak terletak pada tuntutan terhadap kebenaran sejarah secara ilmiah dan akademik, melainkan lebih bersifat kepada “politik sejarah” yang memunculkan perasaan dendam, kebencian, egoisme atau kecintaan berlebihan terhadap sesuatu (Bambang Purwanto, 15).

Sejujurnya, sejarah yang baik itu adalah sejarah yang bisa menutupi jahitan pahit masa lalu untuk membangun masa depan yang lebih baik, yaitu sejarah yang bisa berdamai dengan masa lalunya.

Jadi, jika ada orang yang menulis sejarah dengan memunculkan data antitesa yang mengarah kepada gerakan politik, menghitamputihkan sesuatu, menggeser dari satu peristiwa ke peristiwa selanjutnya, atau menghubung-hubungkan siapa yang salah antara si A dan si B, maka sesungguhnya dia belum bisa menerima dan berdamai dengan masa lalu dan masa depannya.

*) PENULIS adalah dosen Sejarah Universitas Serambi Mekkah, Banda Aceh.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved