KUPI BEUNGOH
Jalan Terjal Gubernur Aceh 2024-2029: Aceh -Jakarta, dan Empat “Provinsi Pemberontak” - Bagian XIV
Ketika rezim Orde Baru tumbang setelah 32 tahun berkuasa, ketiga provinsi itu telah melangkah jauh ke depan meninggalkan banyak provinsi lain
Oleh: Ahmad Humam Hamid
Gejala berpindahnya pemilih-pemilih partai islam pada saat pemerintahan Orde Baru, terutama di tiga “provinsi pemberontak” sesungguhnya lebih bermakna sebagai bentuk “afirmasi” daerah dengan pemerintah pusat.
Apa yang dikerjakan dengan sungguh-sungguh oleh elit daerah masing-masing, adalah mengupayakan Golkar menang dengan segala cara untuk memuluskan hubungan daerah dengan rezim yang berkuasa di Ibu Kota.
Pengalaman kolektif akibat pemberontakan telah memberikan efek jera, apalagi partai politik sejak masa orde Baru sama sekali tidak mempuyai ideologi seperti halnya pada masa orde lama.
Partai kemudian hanya menjadi alat pelengkap demokrasi formal yang hanya “berbeda” sebentar menjelang Pemilu, untuk kemudian “bersatu” lagi dengan pemerintahan Soeharto setelah Pemilu selesai
Apa yang terjadi di tiga provinsi itu sangat sukar untuk diwujudkan di Aceh, karena ada keyakinan seolah-olah Islam dan partai Islam itu sama.
Publik tidak sadar, termasuk sebagian kaum terdidik, bahwa selain Golkar, baik partai Islam maupun partai nasionalis, semuanya berada dalam “orbit” presiden Soeharto.
Baca juga: Jalan Terjal Gubernur Aceh 2024-2029: Aceh -Jakarta, dan Empat “Propinsi Pemberontak” - Bagian XIII
Ketua dan pengurus partai sekalipun, secara sangat terstruktur berada dibawah kendali Soeharto. Bacaan itulah yang sangat dimengerti oleh elit daerah di ketiga “provinsi pemberontak” itu, dan diwujudkan dengan segala cara untuk membuat Golkar terus menerus menang.
Sangat tidak mengherankan kalau kemenangan itu oleh pemerintah pusat kemudian dibalas dengan berbagai kemudahan dan belanja pembangunan.
Ketika rezim Orde Baru tumbang setelah 32 tahun berkuasa, ketiga provinsi itu telah melangkah jauh ke depan meninggalkan banyak provinsi lain, bahkan yang tak pernah memberontak sekalipun.
Jika terlalu sukar untuk melihat dan menggambarkan berbagai fakta fisik, dan pembangunan sosial ekonomi, lihat saja empat gugus elit nasional hari ini dan lihat pula dari mana mereka berasal.
Lihat saja elit politik, birokrat, pengusaha, dan pendidikan tinggi, yang cukup banyak berasal dari ketiga “provinsi pemberontak” itu.
Masa 32 tahun adalah waktu yang cukup, bahkan lebih dari cukup untuk produksi dan reproduksi elit untuk tampil dan berenang dalam kolam besar nasional.
Baca juga: Jalan Terjal Gubernur Aceh 2024-2029: Aceh -Jakarta, dan Empat “Provinsi Pemberontak” - Bagian XII
Walaupun di Aceh Golkar tidak menang, terutama pada kepemimpinan Muzakir Walad, ia tidak kehabisan akal. Bersama dengan Universitas Syiah Kuala dan IAIN Ar Raniry. Muzakir berhasil membuat dua lembaga hebat yang kemudian diadopsi oleh pemerintah pusat.
Yang pertama adalah Badan Perencanaan Pembangunan Daerah yang awalnya bernama Aceh Development Board. Yang kedua adalah Majlis Ulama Indonesia -MUI, yang awalnya bernama Majleis Permusywaratan Ulama.
Muzakir mencari bentuk pengganti “ afirmasi” dirinya dan Aceh dengan pemerintah pusat tidak melalui Golkar. Bersama tehnokrat Darusakam ia membangun dua lembaga strategis “ made in Aceh” yang kemudian diterapkan secara nasional.
Tantangan pemenangan Golkar di Aceh sebagai bentuk ketersambungan konkrit, bahkan kepatuhan kepada pemerintah pusat- dalam hal ini Soeharto- dikonversikan oleh Muzakir kedalam bentuk “respon kreatif” melalui dua lembaga strategis itu yang kemudian menjadi milik nasional.
Bentuk respons kreatif lain yang tercatat paling spektakuler dan membuat momentum pembangunan Aceh mengalami lompatan adalah ketika Aceh diperintah oleh gubernur Ibrahim Hasan.
Baca juga: Jalan Terjal Gubernur Aceh 2024-2029: Aceh - Jakarta, dan Empat “Provinsi Pemberontak” - Bagian XI
Ibrahim yang lama menjadi Rektor yang sekaligus merangkap Kepala Bappeda Aceh mempunyai catatan lengkap, sekaligus observasi politik dan pembangunan Aceh semenjak kepulangannya ke Aceh pada awal tahun Orde Baru.
Ibrahim baru menjadi Gubernur setelah menjadi petinggi di Bulog -Badan Urusan Logistik . Selama beberapa tahun ia menjadi deputi kabulog Letjen Bustanil Arifin, putera Minang Aceh, asal Idi Aceh Timur.
Ketika ia diangkat menjadi gubernur Aceh pada 1986, ia hanya melihat satu terobosan utama yang dapat mengeluarkan Aceh dari ketertinggalannya . Terobosan itu adalah Golkar harus menang di Aceh.
Ibrahim tidak main-main. Ia segera berganti baju dari ilmuwan dań birokrat handal menjadi politisi ulung. Semenjak ia dilantik sampai dengan hari pemilihan umum, tiada hari yang ia lewatkan tanpa ajakannya agar publik memenangkan Golkar, sesuatu yang tak pernah dilakukan oleh gubernur sebelumnya.
Ia masuk kampung keluar kampung, bertemu dengan ulama dan tokoh masyarakat dan publik, untuk meyakinkan pembangunan Aceh besar-besaran hanya didapatkan kalau Golkar menang di Aceh. Dalam beberapa pertemuan dengan tokoh-tokoh penting daerah ia sering mengbaratkan partai politik Indonesia dan “tauke” yang dikaitkan dengan logika dagang Aceh.
Baca juga: Jalan Terjal Gubernur Aceh 2024-2029: Pendidikan Aceh Menuju PISA- OECF? - Bagian IX
Ibrahim menyebutkan semua partai politik -PPP, PDI, dan Golkar,- taukenya itu pak Harto. Golkar itu miliknya pak Harto,dan sedangkan PPP dan PDI itu ibaratnya “toke bangku” yang semua pembeliannya juga akan disetor ke pak Harto.
Kalau mau dapat laba besar kenapa harus ke toke bangku, kenapa tidak ke tauke besar saja. Ya Golkar ya pak Harto.
Pemilu 1987 Aceh membuat sebuah terobosan besar. Ibrahim berhasil meyakinkan masyarakat Aceh untuk memilih Golkar, dan memang, akhirnya Golkar menang 52 persen. Lampu Golkar yang dihidupkan oleh Ibrahim Hasan setelah 20 tahun tak menyala membuat Soeharto mendapatkan energi penuh dan total.
Sebagai presiden yang menomorduakan politik dan demokrasi, dan menjadikan pembangunan sebagai “ideologi” telah komplit.
Soeharto merasa telah mendapatkan mandat penuh untuk melanjutkan misinya, hatta dari daerah yang terkenal “keras” dan sejarah tradisi perang panjang dan melelahkan sekalipun.
Kemenangan Gokar di Aceh pada tahun 1987 membuat capaian Soeharto kini menjadi sejarah penting dirinya dan bahkan pemerintah dan negara.
Bagi Soeharto, kemenangan itu seolah membuat Aceh seakan kembali ke pangkuan ibu pertiwi kali kedua setelah pemberontakan DI/TII selasai.
Baca juga: Jalan Terjal Gubernur Aceh 2024-2029 - VI: Gen Z dan Alpha, Literasi dan Numerasi Abad 21
Kini bola kemenangan Golkar itu ada pada Ibrahim Hasan , dan ia tahu apa yang mesti ia lakukan. Ia mulai meminta banyak dengan cara yang sopan kepada presiden untuk membangun Aceh.
Dengan modal kemenangan Golkar ia mulai meyakinkan Profesor Saleh Afif - Menteri Perencanaan Pembangunan, Ketua Bappenas, betapa Aceh punya list panjang pembangunan.
Dengan pengalaman ketua Bappeda Aceh ia bisa menghafal dan mendeskripsikan dengan baik semua persoalan pembangunan Aceh kepada Saleh Afif.
Tak cukup dengan dirinya, Ibrahim punya tokoh besar asal Aceh, Bustanil Arifin, orang dekat Soeharto. Jika ada masalah besar dan perlu cepat dengan presiden, maka Bustanil lah yang memfasilitasi Ibrahim.
Dengan kemenangan Golkar itu, Ibrahim seakan boleh masuk ke “gudang” APBN untuk mengambil dan membawa uang ke Aceh sebanyak yang dia mau dan mampu.
Baca juga: Jalan Terjal Gubernur Aceh 2024-2029: Yahudi, Pendidikan, Montasik, Peusangan, Meukek - Bagian V
Istilah Aceh “beureutoh jareng”, “ube euk pajoh”, “lambong keupiah” seakan berkonotasi dengan jumlah APBN yang dikucurkan ke Aceh oleh pemerintah.
Untuk pertama kali dalam sejarah, Aceh mengalami “booming” pembangunan yang spektakuler. Sampai hari ini, setelah lebih dari empat puluh tahun Ibrahim berhenti dari Gubernur, apa yang pernah ia lakukan masih tegak dan kokoh.
Hampir tak ada tempat di Aceh yang tak tersentuh dengan pembangunan yang ia lakukan. Hal itu tak mengherankan, karena selama lima tahun berturut-turut dalam masa kepemimpinannya, Aceh menjadi provinsi terbesar penerima APBN di luar Pulau Jawa. (Habis)
Penulis: Sosiolog dan Guru Besar USK
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.