KUPI BEUNGOH
Aceh tak Butuh Negosiasi, Kembalikan Empat Pulau tanpa Syarat
Ini bukan sekadar perselisihan batas biasa. Ini adalah penistaan terhadap MoU Helsinki dan pengkhianatan terhadap sejarah.
Bagaimana bisa bernegosiasi untuk sesuatu yang telah dicuri dan dirampas secara tidak sah? Aceh tidak butuh negosiasi untuk mendapatkan kembali apa yang sudah menjadi haknya!
Tawaran pengelolaan bersama adalah bentuk kamuflase untuk melegitimasi kesalahan fatal, sebuah upaya melegalkan perampasan.
Ini sama saja dengan meminta korban perampokan untuk bernegosiasi dengan 'pencuri' tentang cara terbaik mengelola barang curian.
Dalam konteks Teori Legitimasi Politik (Political Legitimacy Theory), tindakan seperti ini dapat mengikis legitimasi pemerintah pusat dan daerah di mata masyarakat.
Baca juga: 1.171 Pasangan di Aceh Tamiang Cerai Akibat Narkoba
Baca juga: Polemik 4 Pulau di Singkil, Rektor UIN Minta Pemerintah Pusat Hargai Marwah Aceh
Ketika kebijakan atau tindakan pemerintah tidak sesuai dengan dasar hukum yang jelas dan mengabaikan sejarah, ia akan kehilangan dukungan dan kepercayaan rakyat.
Semangat MoU Helsinki adalah fondasi perdamaian Aceh. MoU tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa batas Aceh mengacu pada peta tahun 1956.
Ini bukan sekadar angka atau tahun, ini adalah konsensus politik yang dicapai setelah puluhan tahun konflik berdarah. Mengabaikan poin ini sama saja dengan mengkhianati esensi perdamaian itu sendiri.
Jasa Pahlawan Aceh
Ingatkah kita pada darah pahlawan Aceh yang tumpah untuk kemerdekaan Indonesia? Pada 16 Juni 1948, Presiden Soekarno datang ke Aceh, bukan untuk menaklukkan, melainkan untuk memohon dukungan.
Rakyat Aceh dengan gagah berani, atas nama patriotisme tanpa batas, mengumpulkan harta benda dan perhiasan, bahkan membeli dua pesawat terbang (Seulawah) yang menjadi tulang punggung awal angkatan udara Republik.
Ini bukan sekadar sumbangan, ini adalah komitmen politik dan pengorbanan jiwa yang tak ternilai harganya.
Mencaplok wilayah Aceh adalah menodai jasa Teungku Chik di Tiro, Cut Nyak Dien, Teuku Umar, dan semua syuhada yang telah berjuang demi martabat dan kedaulatan Aceh serta Indonesia.
Ini adalah pengkhianatan terhadap warisan mereka, sebuah tindakan yang mengabaikan kontribusi fundamental Aceh dalam membentuk Republik.
Jangan Pernah Mundur!
Reaksi keras dari masyarakat Aceh, termasuk Jaringan Aneuk Syuhada Aceh (JASA) Wilayah Batee Iliek, dan seruan tegas dari para pemimpin Aceh modern seperti Mualem (Muzakir Manaf), adalah bukti nyata bahwa Aceh tidak akan tinggal diam.
Baca juga: 4 Pulau di Aceh Singkil Lepas, Ketua Gerindra: Pemerintah Aceh Harus Bangun Garis Pertahanan Batas
Baca juga: Kak Ana tak Dapat Tidur Nyenyak Usai Melihat Rumah Warga Dalam Kondisi Reyot di Aceh Utara
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.